Kelas X Intensif saat Kegiatan Belajar Mengajar |
Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang dimuat di Majalah Condong edisi 2 untuk rubrik Laporan Utama. Dalam tulisan ini saya berbagi kepada pembaca semua, untuk mengetahui lebih dalam seperti apakah pola pendidikan yang diterapkan oleh sekolah saya SMP-SMA Terpadu Pesantren Riyadlul 'Ulum Wadda'wah. Selamat membaca :)
Alawi merupakan siswa SMA yang menjadi korban kebringasan
aksi tawuran antar pelajar di Kota metropolitan Jakarta. Kasusnya terus
bergulir bahkan sampai berkali-kali muncul di layar kaca. Selain itu, maraknya
razia pelajar yang tertangkap basah tengah melakukan tindak asusila pun kerap
meresahkan warga. Sekelumit kisah para pelajar ini ternyata telah menyentuh
lapisan masyarakat terendah sekalipun. Tidak hanya di kota, para remaja yang
tinggal di Desa pun telah menunjukan tanda-tanda yang sama. Tentu saja hal ini
menjadi bumerang serta kenyataan pahit bagi para orang tua yang segenap
hidupnya dihabiskan untuk anaknya. Tidak ada orang tua yang rela anaknya
terjerembap ke jurang kesesatan, mereka selalu berharap agar buah hatinya
menjadi manusia yang bisa dibanggakan, bermanfaat serta berbakti pada kedua
orang tuanya.
John Maxwell dikutip oleh Tim
Sosiologi (2006: 99) mengungkapkan bahwa bahwa setiap perubahan dalam sikap
manusia harus datang melalui pengertian dan penerimaan dari dalam. Manusialah
satu-satunya ciptaan yang dikenal dapat membentuk ulang dan mencetak ulang
dirinya sendiri dengan mengubah sikapnya.
Secara sederhana, salah satu proses recycle
(daur ulang) tersebut dapat dilakukan melalui pondok pesantren, yang mana
merupakan tempat orang-orang mengaji dan tinggal di asrama. Tentu saja, karena
pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengintegrasikan antara
pendidikan formal, nonformal dan informal. Maka, dengan pola integrasi ini,
selama 24 jam anak berada dalam lingkungan pondok, sehingga akhlak dan mental
mereka menjadi terarahkan.
Pola
Keterpaduan Pondok Pesantren Condong
Sebagai sebuah lembaga pendidikan,
pondok pesantren Condong hadir bukan sekedar untuk mewarnai dunia kepesantrenan
di tanah air. Karena memang secara historis, pesantren merupakan lembaga
pendidikan tertua yang menjadi ciri khas pendidikan di Indonesia. Namun tidak
hanya itu, pondok pesantren Condong terbentuk dengan pola keterpaduan. Surat Al-Baqarah
(2) : 201 menjadi landasan utama dibentuknya konsep terpadu. Terpadu dalam
bidang yang bersifat duniawiyyah begitu pun yang bersifat ukhrawiyyah.
Keduanya menjadi prioritas utama yang menjadi tolak ukur nilai dan falsafah
pondok.
Keterpaduan pondok pesantren Condong
merupakan wujud dari pengakomodiran keunggulan dari sistem pendidikan pesantren
tradisional (salafy) dan modern (khalafy) yang kemudian diramu
secara proposional sehingga terciptalah pola pendidikan pesantren terpadu. Dari
segi kurikulum, pesantren Condong memadukan tiga sintesa; kurikulum pendidikan
Nasional, pendidikan modern ala Gontor dan pendidikan salafiyah. Ketiganya
diupayakan memiliki porsi yang seimbang. Tercermin dari kegiatan belajar
mengajar di kelas, sejumlah mata pelajaran baik yang berupa umum, salafiyah
(kitab kuning) maupun keterampilan berbahasa arab dan inggris, semuanya
ditempatkan di dalam sekat kelas, dan dipelajari santri dengan seksama. Namun,
tradisi kesalafiyahan seperti sorogan, bandongan tetap berjalan
sebagaimna mestinya.
Kegiatan
para santri selama berada dalam lingkungan pesantren bersatu padu sehingga
menghasilkan pola pendidikan terpadu. Pembinaan akhlak dan mental santri
direfleksikan dalam kegiatan yang beragam, seperti mengaji, melaksanakan shalat
wajib berjama’ah di masjid, pembiasaan shalat sunnat, penanaman nilai-nilai
kepesantrenan dalam setiap perkumpulan, juga pembiasaan sikap-sikap terpuji
seperti kesederhanaan, kemandirian dan lain-lain.
Sementara
untuk mengasah keterampilan dan potensi santri, pondok pesantren
memfasilitasinya dengan beragam ekstrakurikuler dan sarana yang mendukung. Pondok
Pesantren Condong berkeyakinan bahwa proses pendidikan harus bersifat holistik,
dalam artian harus menyeluruh dan menyentuh seluruh aspek manusia baik itu
kognitif, psikomotorik maupun afektif. Pesantren tidak mengagung-agungkan
pencapaian dalam bidang kognitif saja, akan tetapi aspekaspek lain pun
diperjuangkan. Sebagai konsekuensinya pesantren menyediakan berbagai macam
kegiatan ekstrakurikuler.Terdapat
21 ekskul yang bisa jadi pilihan para santri untuk mengembangkan diri. Dari
mulai ekskul bela diri, English debate, pidato (Jam’iyyatul Khutobah),
nasyid, komunitas sastra, pramuka, paskibra dan masih banyak lagi. Semua
kegiatan santri berada dalam lingkungan pendidikan. Pendidikan dalam hal ini diartikan
sebagai penugasan dan pembiasaan di mana apa yang santri dengar, lihat dan
rasakan sepenuhnya bagian dari pendidikan.
Pondok pesantren Condong memiliki sistem pendidikan yang juga
terpadu. Selama ini banyak sekali pondok pesantren yang membiarkan sistem
pendidikan pesantren terpisah dengan sekolah, sehingga seringkali ditemukan
berbagai kegiatan kontradiktif satu sama lain. Dalam sistem terpadu pondok
pesantren Condong sekolah dan pesantren bersatu padu tanpa ada diskriminasi dan
pemisahan. Santri adalah siswa dan siswa adalah santri itu sendiri. Dengan
konsep seperti ini diharapkan para santri dapat memandang semua mata pelajaran
dan kegiatan dengan fair tanpa
ada diskriminasi. Hal ini menegaskan bahwa Inti dari sistem pendidikan terpadu
adalah totalitas dalam semua kegiatan pondok pesantren.
Membina
Akhlak Santri dengan Nilai dan Falsafah Kepesantrenan
Santri saat menyimak kajian dari seorang Ustadz |
Era globalisasi yang ditunjukan dengan semakin majunya
teknologi ternyata tidak hanya memberi dampak positif bagi manusia. Seperti
halnya banyak kejadian buruk yang menimpa anak-anak bangsa dengan menjadi
korban berbagai media sosial atau penyalahgunaan internet. Begitu juga media
elektronik yang menjadi biang kerusakan moral pelajar. Atau pergaulan yang
semakin bebas dan merujuk pada hal-hal yang negatif. Selain itu, imbas
pergaulan bebas adalah keterpurukan karakter pelajar yang semakin hari semakin
memburuk. Tidak hanya bersikap kasar pada teman, guru sekalipun bahkan sudah
dianggap tidak patut dihargai lagi.
Bagan 1
Foto: Lena Sa'yati
Kemerosotan akhlak para remaja di
negeri ini tentu tidak sepenuhnya disebabkan kemajuan teknologi. Minimnya
penanaman nilai-nilai keagamaan pun menjadi salah satu penyebab utama. Sehingga
tidak heran kemudian Menteri Kebudayaan dan Pendidikan lebih menjejali
kurikulum dengan penanaman karakter. Bagi sebuah lembaga pendidikan seperti
pondok pesantren, tentu hal ini sudah lazim dan biasa. Seperti halnya yang
dialami pondok pesantren Condong, dengan banyaknya santri yang juga memiliki
beragam karakter, tentu menjadi tugas penting agar bisa mengarahkan mereka
kepada hal-hal bermuatan positif.
Membangun insan yang berakhlakul karimah dan memiliki daya saing
dalam era globalisasi merupakan tujuan pokok pondok pesantren Condong. Hal ini
diaplikasikan dalam kehidupan santri. Pembiasaan kesalehan beragama, memberikan
pendidikan terpadu yang berkualitas, menanamkan jiwa keikhlasan pada seluruh
elemen pesantren adalah sebagian dari perwujudan visi pondok pesantren. Hal ini terejawantah
pula dalam panca jiwa yang dapat disimpulkan dengan nilai-nilai yang mendasari
kehidupan di pondok pesantren Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah Condong, yaitu;
Jiwa keikhlasan, atau dalam bahasa Jawa berarti sepi ing pamrih.
Bukan hanya santri, seluruh elemen pondok
dituntut untuk bersedia melakukan banyak hal yang bermanfaat tanpa
memikirkan apa yang akan didapat. Dengan
bekerja ikhlas, seseorang hanya melakukan sesuatu dengan tujuan lillah, bukan
linnas, bukan lilmaal atau yang lainnya. Sehingga akan menghasilkan
insan mukhlis dan senang bekerja atau melakukan banyak hal dengan ringan.
Seperti halnya santri yang sebelumnya tidak memiliki tujuan
dalam menuntut ilmu, namun ketika Ia belajar dengan ikhlas, Ia akan dengan
senang hati datang ke kelas dan menyimak pelajaran dengan rasa bahagia karena
telah mendapat ilmu baru. Baginya, ilmu menjadi tolak ukur kemuliaan seseorang. Dengan begitu, diharapkan ilmu yang didapat
tidak menjadi ilmu yang dilaknat, artinya tidak digunakan untuk sesuatu yang
sesat, melainkan digunakan untuk memperbaiki diri, lingkungan, negara bahkan
dunia ke arah yang lebih baik. Begitu pula dengan Kyai yang ikhlas mengajar dan
membimbing santrinya, juga santri yang ikhlas belajar dengan Kyai-nya. Tentu
hal ini akan menciptakan kehidupan pondok yang harmonis.
Jiwa kesederhanaan, kehidupan di pondok pesantren diliputi dengan
kesederhanaan. Namu kesederhaan di sini bukan berarti pasif atau nerimo, tidak
juga berarti miskin atau melarat. Justru dalam kesederhanaan terdapat kekuatan,
kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.
Dengan ditanamkannya jiwa kesederhanaan, diharapkan santri dapat merasakan
empati terhadap kenyataan yang mereka temukan di tengah masyarakat kelak.
Jiwa Berdikari,
atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan
pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri
sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi
pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup
berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau
belas kasihan pihak lain. Inilah Zelp
berdruiping systeem (sama sama memberikan iuran dan
sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok pesantren Condong sendiri tidaklah
bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua
pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan para santrinya
sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok . Perlu dicatat bahwasanya di pondok
guru tidak memakan gaji dari SPP santri. Apa yang dibayarkan santri adalah
untuk mereka sendiri. Di sini guru mendapatkan kesejahteraan, sepenuhnya dari
usaha pondok dalam berbagai bidang.
Jiwa Ukhuwwah Diniyyah, kehidupan
di pondokpesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala
suka dan duka dirasakan bersama dalam
jalinan ukhuwwah diniyyah. Tidak
ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama
mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat.
Jiwa Bebas, bebas
dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam
memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar,
masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis
dalam menghadapi segala kesulitan.
Hanya
saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu
apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan
berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang
terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi
yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga
tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah.Akhirnya dia sudah tidak lagi
bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.
Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas
di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam
kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat. Jiwa
yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri
sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus
dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Intinya, pola keterpaduan yang diusung pondok pesantren
Condong diharapkan menjadi sebuah terobosan yang baik dalam dunia pendidikan di
negeri ini. Tanpa berpretensi menjadi sebuah sistem pendidikan yang sempurna,
pola keterpaduan pesantren Condong memiliki cita-cita mulia untuk membina
generasi muda Indonesia menjadi generasi yang kaffah dan bermanfaat bagi
dirinya dan masyarakat. []
*) untuk mengetahui lebih tentang Pesantren Condong, silahkan kunjungi
www.pesantren-condong.net atau www.ppcondong.wordpress.com
Warm Regards,
Lena Sa'yati |
0 comments:
Posting Komentar