Mudik Salopa





Seperti halnya kebanyakan perantau yang lain, saya pun ternyata harus melakukan sebuah tradisi yang disebut “mudik”. Bagi negara yang mayoritas penduduknya muslim, dan termasuk dalam kategori negara berkembang, tradisi mudik memang akan selalu ada. Tapi melihat pemudik di Indonesia yang begitu gencar, rasanya cuma kita satu-satunya di dunia yang paling dominan. Memang benar, seperti prinsip Ibnu Khaldun, jika sulit berkembang di kampung, ya merantau. Begitu pun yang terjadi di negara kita. Kebanyakan daerah pedalaman belum bisa menjadi daerah otonom, warga nya pun terpaksa harus mencari usaha yang lebih menjanjikan di Kota.
Bisa dibilang saya adalah warga kampung di daerah pedalaman Kabupaten tasikmalaya Selatan, Salopa. Sejak SMP merantau ke Kota yang juga masih Kota Tasik. Bedanya, dulu saya bertujuan untuk menuntut ilmu di Pesantren yang menyediakan Boarding School, tapi kini saya benar-benar tinggal dan menjadi warga sana karena ikut suami. Otomatis, mata pencaharian saya pun disesuaikan dengan lokasi, yakni di Kota. Kalau sudah begitu, kampung Salopa menjadi tanah kelahiran yang harus saya tinggalkan tapi bukan untuk dilupakan.
Lebaran kali ini, saya pun mencoba menjalani ritual tahunan penduduk muslim Indonesia, yakni mudik. Tapi mengingat jarak dari tempat tinggal saya sekarang dan Kampung salopa hanya memakan waktu 1,5 jam, apa iya bisa dikatakan mudik? Kembali ke akar kata, mudik kan artinya pulang ke kampung halaman. Berasal dari kata “udik” yang konotasinya merupakan kata kerja (ciee guru bahasa Indonesia muncul). Jadi sebenarnya, tidak terbatas pada tradisi saat lebaran, asal pulang ke kampung halaman, ya itu bisa dikatakan mudik. Hanya saja kata mudik memang baku digunakan pada saat lebaran, tidak apa-apa.
Ada yang menarik dari mudik saya kali ini adalah kenakalan kreatifitas diri untuk mengekspos seluk beluk kampung salopa. Saya mencoba membuat video dokumenter yang “lumayan”, hehe. Selain itu, mengunjungi keluarga, dan tempat wisata. Wah, memang di salopa ada tempat wisata. Eits, jangan salah, bagi anda yang kenal Panji si Petualang pasti pernah nonton dia syuting di sebuah air terjun yang bernama curug Cimanintin. Ya itu di salopa!
Kalau saya abandingin Ubud, atau Kintamai di Bali, sepertinya hanya beda tipis. Bedanya adalah akses jalan yang lumayan parah. Sentuhan pemprov Kabupaten Tasik belum sampai ke daerah kami. Insfrastruktur berupa jalan raya masih sangat hancur, terdiri dari bebatuan besar, dan bekas aspal tahun lampau yang mengelupas parah. Mirip dengan sungai tanpa air!
Tapi semua itu bisa terbayar dengan pemandangan yang bisa dilihat dan ditafakuri. Pegunungan serasa dekat, jalan yang diapit pepohonan karet, beberapa sungai besar yang membentang, sawah hijau dan juga air terjun yang menyejukan. Kalau pun butuh tempat hang-out dan juga lapar, bisa pilih mengunjungi rumah makan danau Lemona. Indah dan nyaman. Hanya saja jika berniat naik angkutan umum, ya kita musti sabar, karena bentuk angkutannya berupa mini bus yang datang satu jam sekali. Weh weh. Makanya saya dan suami memilih naik motor. Bawa mobil yang dirumah pun tidak tega, masa sedan disuruh jalan di atas bebatuan tajam, ckck.
Alright, tidak afdol ya kalau saya terus bicara mengenai pesona (ceila pesona) Salopa kalau belum kasih foto-fotonya. These are some photos of my beloved Village Salopa.

Lapar? Ke Rumah Makan Danau Lemona yuk!
Bisa naik sampan juga lho!
Lilbro Sandi berfoto di jalan yang diapit pohon-pohon karet
Pegunungan dan sawah yang warnanya hampir menyerupai baju saya :)
Curug Cimanintin, yang sempat jadi lokasi syuting Panji Sang Petualang.
Kalau air terjun sedang pasang, saya belum tentu bisa sedekat ini :)
Sista Dini merasakan kesejukan berdekatan dengan air terjun.
Mau coba jadi tarzan? Bisa! :)
Siluet!
Finally home. My beloved home :)

And Family, minus Syehdi and Sandi.

Warm Regards,        
Lena Sa'yati

1 comments: