KRITIK MENYALA UNTUK SEMANGAT MUDA

Lena Sa’yati, Mahasiswi Sekolah Tinggi Pesantren Terpadu (STPT) Tasikmalaya
www.lenasayati.blogspot.com

               
               “Muda berkarya, tua kaya raya, mati masuk syurga” terkandung nilai filosofis dalam pepatah yang cukup populer tersebut. Sungguh alur kehidupan yang sangat ideal, diidam-idamkan hampir seluruh umat manusia dimuka bumi, sangat sempurna, dan tak lupa juga sangat sulit mewujudkannya, namun bukan berarti mustahil untuk bisa menggapainya. Jika demikian adanya, semestinya kita merenung tatkala mendengar pepatah tersebut. Cobalah kita tengok, betapa kebahagiaan yang abadi yakni di syurga, bermula dari bagaimana kita hidup semasa muda di dunia. Kalau begitu, jelas sudah, bahwa ditangan pemudalah sebuah perubahan besar dapat tercipta.
                Pemuda dalam artian seseorang yang masih berusia muda, semestinya memiliki jiwa dan semangat muda pula. Begitulah setidaknya jika kita menengok kebelakang, tatkala para pemuda masa penjajahan, saling berebut kemerdekaan, mereka beramai-ramai membentuk beragam komunitas, menyiapkan konsep, membuat misi, serta mampu membuat suatu perubahan dari pergerakannya. Seperti halnya organisasi yang pertama kali dibentuk kala itu BUDI UTOMO yang merupakan awal pergerakan menuju Indonesia merdeka.
                Menyoroti semangat menyala para pemuda zaman dahulu yang begitu kental dengan kobar perjuangan dan pengorbanan terhadap tanah air, namun kini, mungkin akan sangat sulit bila kita hendak menemukan tipikal karakter pemuda dengan semangat muda layaknya pemuda zaman dahulu. Betapa tidak, jika kita telaah, sebenarnya, pemuda masa kini adalah mereka yang serba lebih dalam mendapatkan segala hal. Status pendidikan lebih tinggi, perkembangan teknologi lebih canggih, cara berpikir lebih rasional. Lalu apakah dengan semua itu semangat muda para pemuda zaman sekarang lebih canggih pula dari pemuda zaman dulu? Oh sudah jelas, semangat demonstrasi mereka bahkan lebih anarkis, cara berpikir mereka lebih menekankan sikap emosional, penggunaan teknologipun tak kalah canggih dari teknologinya sendiri dengan sembarang mengumbar video-video tak senonoh ke dunia maya, apa tidak hebat? 
Terlebih ketika tiba masa kelulusan anak SMA, dengan semangat muda yang menyala-nyala, mereka berani ugal-ugalan dijalanan sambil meneriakan yel-yel, dan bahkan saking kreatifnya, merekapun beramai-ramai mencorat-coreti seragam putih abu kebanggaannya. Mau tidak mau, image pemuda masa kini masih saja ter-cap jelek dalam pandangan masyarakat. Memang tidak semua pemuda Indonesia seperti itu, hanya saja yang selalu muncul kepermukaan adalah aksi-aksi negatif tersebut. Sepertinya akan sangat membanggakan bila chanel-chanel televisi ramai memberitakan bahwa kelulusan dihiasi aksi sujud syukur bersama dilapangan sekolah, misalnya. Tapi apa yang selalu kita lihat? Setiap memindahkan chanel TV, sudah dipastikan, semua memberitakan bahwasanya kelulusan dihiasi aksi bentrok antar sekolah, atau corat-coret seragam, motor-motoran di jalan, dan lain sebagainya. Sungguh ironis, inilah semangat muda para pemuda zaman sekarang.
Tanpa kita sadari, faktor apakah yang menyebabkan aksi para pemuda Indonesia kini semakin terpuruk? Jauh dari gambaran para pemuda zaman dahulu yang jelas-jelas status pendidikannya saja lebih rendah. Apakah berasal dari faktor lingkungan? Sudah jelas. Apakah faktor gempuran teknologi yang semakin membutakan dan membuat mereka ketagihan? Tentu. Apakah karena rentannya pengaruh dari belahan bumi luar, terutama dari segi budaya yang hilir mudik menyapa generasi muda kita? Itu juga sudah barang benar. Namun pernahkah kita merenung, bahwasanya pertanyaan besar mengapa generasi muda hari ini begitu anarkis, emosional, dan tak tahu adab? Ternyata aksi-aksi negatif itu berasal dari penyakit hati yang tidak memperoleh pencegahan apalagi pengobatan.
Setiap lembaga pendidikan sudah tentu memiliki tujuan yang mulia. Yakni turut mencerdaskan dan memperbaiki moral bangsa. Kurikulum dirancang sedemikian rupa demi kelancaran menggapai tujuan tersebut. Disisplin peraturan dibuat sedemikian ketat untuk mencegah aksi pelanggaran dan menjaga ketertiban. Fasilitas terus dilengkapi demi menopang kegiatan belajar mengajar yang ideal. Semua diciptakan demi menggapai satu tujuan. Namun tanpa kita sadari, yang lebih penting dari sekedar mencerdaskan dan memperbaiki moral bangsa adalah menciptakan karakter beradab dan berakhlak mulia dalam jiwa setiap anak bangsa.
Kebanyakan sistem pendidikan di negeri kita lebih menekankan anak untuk dijejali pelajaran-pelajaran yang menuntut otak untuk terus berpikir, namun sangat sedikit yang menuntut hati untuk ikut tergerak. Pelajaran agama hanya menjadi kurikulum semata, tanpa masuk lebih jauh kedalam hati dan kesadaran anak. Fenomena aksi korup para politikus yang notabene adalah orang-orang yang berpendidikan merupakan contoh pahit yang harus kita telan, bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup, perlu penyeimbang yang mengontrol setiap aksi dari kecerdasan intelektual tersebut, yang tiada lain adalah kecerdasan spiritual. Kecerdasan spirituallah yang kemudian mampu membentuk sebuah karakter dalam diri anak.  Membimbing pola hidup si anak dengan apa yang Ia yakini dalam hatinya. Cobalah tengok, mereka sekawanan anak muda yang ugal-ugalan dijalan itu adalah mereka yang kering kerontang jiwa spiritualnya. Tandus, tidak terairi. Itulah sebab dari hanya selalu mengunggul-unggulkan pendidikan lahiriah saja.
Dalam pergaulan sehari-hari, ilmu alam, sosial atau bahkan matematika sekalipun tidak akan mampu angkat biacara. Yang berperan kala itu adalah ilmu-ilmu yang mengajarkan ketauladanan, adab, sopan santun, yang hanya bisa dapatkan dari ilmu keagamaan. Inilah yang seharusnya menjadi standar kualitas setiap lembaga pendidikan, dan pedoman bagi setiap orang tua.
Tanpa hati, mana mungkin seseorang akan tergerak untuk melakukan suatu perubahan. Jika perubahan yang diciptakan berbentuk positif, itu karena berasal dari niat hati yang positif. Sebaliknya, jika perubahan yang diciptakan berbentuk negatif, sudah barang pasti berasal dari niat hati yang juga negatif.
Maka, tatkala kita mengetahui akan hal tersebut, bahwa ditangan pemudalah suatu perubahan tercipta, dan perubahan positif timbul karena niat hati yang positif pula, sepantasnyalah bagi kita untuk mengevaluasi diri, apakah hati ini telah mampu tergerak untuk menciptakan sebuah perubahan besar, dan apakah semangat muda yang berkobar dalam diri kita ini akan berbuah positif. Bila sudah begitu, tinggal menunggu waktu, kapan icon baru pemuda bangsa muncul dengan bibit unggulnya, serta mampu memberikan pengaruh besar bagi dirinya khususnya, dan masyarakat pada umumnya.