Mengasuh: Ladang Pendewasaan Diri

Lena Sa'yati, Sekolah Tinggi Pesantren Terpadu (STPT), Tasikmalaya
lenasayati@gmail.com


Saat saya ditakdirkan untuk mengabdi pada Pondok Tercinta, mulanya mengelak, bersikukuh tak mau menurut pada perintah Guru. Bukan tidak mau karena berniat membangkang, apalagi benci terhadap pondok, melainkan karena ada alasan lain yang sangat wajar bila setiap orang memperhitungkannya. Bahwa saya memiliki impian untuk bisa melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi Negri ternama di Indonesia. Bukankah ini pemikiran yang wajar? Karena sayapun memiliki sisi idealisme dari jenjang yang akan saya tempuh selanjutnya. Sayapun mulai mendaftar kesana kemari bersama teman-teman saya, yang pada saat itu hampir semuanya memiliki pemikiran yang serupa dengan saya. UIN Syarif Hidayatullah, sampai Universitas Swasta Paramadina pun pernah saya kirimi formulir pada saat itu. Tapi takdir berkata lain. Ketika sebagian teman-teman saya berhasil lolos seleksi masuk Perguruan Tinggi, bahkan sampai ada yang mendapatkan beasiswa penuh, saya malah di hadapkan dengan kegagalan dan kegagalan. Saya yang saat itu sulit menerima kenyataan, merasa amat kecewa dan sedih luar biasa.
Sempat berkelumit dalam hati ingin nekat mencoba lagi, karena orangtuapun sangat berharap saya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri. Namun saya kembali berfikir, akan kemanakah saya nanti jika dengan tegas memutuskan tidak ingin mengabdi ke Pondok, tapi ternyata saya kembali tak lolos. Tentu jika tidak kembali mesantren, ya jadi pengangguran dan semakin terpuruk ditengah-tengah masyrakat yang masih sangat terbelakang dalam dunia pendidikan. Mau kembali ke Pondok? Pasti malu, atau mau cari kerjaan? zaman sekarang, office boy saja bergelar Sarjana, apalagi lulusan SMA, mau kerja apa?. Maka, dengan sejuta beban yang mengganjal dalam hati, (Lantaran ogah kembali ke pondok), pada akhirnya kembali mengemas barang-barang yang sudah saya pulangkan untuk di bawa lagi pergi menuju Pondok. Malu, memang. Kecewa, apalagi.Tapi itulah yang pilihan yang meski awalnya sangat sulit saya putuskan. Saya hanya punya modal "Yakin" bahwa semua ini adalah yang terbaik yang Allah tetapkan pada diri saya.

Ustadzah, Gelar asing yang tak bisa ditolak
Saat pertamakali saya kembali menginjakan kaki di Pondok, seorang santriwati menyapa dengan setengah berteriak:
          " Ustadzah Lena!!!...Adeuh,..."
Dan saya yakin itu adalah sebuah ledekan! Betapa tidak, orang itu berteriak sambil cengengesan dan meng-Adeuh-adeuhi saya. Sayapun tersadar, bahwa setiap lulusan SMA pondok saya, lalu kemudian mengabdi disana, maka panggilannya bukan "Teteh" lagi, melainkan "Ustadzah". Bayangkan, semuda ini saya sudah harus di sebut Ustadzah. Sungguh malu rasanya bila ternyata gelar itu tak sesuai dengan pribadi saya. Tapi, walau bagaimanapun, setiap pengabdian bisa di sebut Ustadzah, karena memang ada beberapa karakter dan pandangan sosok seorang Ustadzah yang tertanam pada setiap diri seseorang yang mengabdi. Bisa dikatakan demikian, karena seluruh alumnus yang mengabdi, diwajibkan mengajar pelajaran-pelajaran yang bermuatan lokal, seperti Kitab-kitab Kuning, atau pelajaran bahasa arab yang luas cakupannya. Bukankah memang kekhasan seorang Ustadzah adalah mengajar ilmu-ilmu keagamaan?
Menemani Firda saat mengikuti ajang 
Pemilihan Miss Language 2010

Membimbing: Mengajar, mendidik, dan Mengasuh
Namun di Pondok ini, seorang Ustadzah tidak hanya terbatas pada mengajar saja. Ia juga diwajibkan membimbing setiap santriwati dengan menjadi wali kelas dari setiap kelas. Arti membimbing disini sangat luas. Bagaimana tidak, seorang Ustadzah dalam eksistensi membimbingnya harus mampu mengenali pribadi setiap anak didiknya. Mulai dari asal-usul keluarganya, nomer telepon yang bisa dihubungi, apa yang dia suka dan tidak suka, apakah dia punya penyakit bawaan atau tidak, pelajaran apa yang menurutnya sulit atau sebaliknya, teman dekatnya siapa saja, apakah dia punya masalah atau tidak, sampai uang jajan perbulannyapun kalau perlu seorang Ustadzah yang menjadi wali kelasnya harus tahu.
Coba bayangkan, kawan. Dari sekian puluh santriwati, Seorang Ustadzah bahkan dituntut untuk paham betul tentang segala seluk beluk kehidupan anak didiknya. Padahal Ia masih memiliki kesibukan lain, entah itu bersifat pribadi ataupun yang bersifat umum. Tapi apakah ini beban? Apakah ini rintangan? Mari saya paparkan setiap kegiatan seorang Ustadzah dari mulai bangun sampai bangun kembali, agar anda dapat menilai, apakah semua itu merupakan beban yang menghasilkan kecapaian, atau justru kepuasan dan ladang amal yang tidak tergantikan?
  • Dipagi hari tepat pukul 05.30 memberikan kosakata bahasa arab dan inggris dalam kegiatan Mufrodat. Seorang Ustadzah harus meninggalkan sebuah kemalasan besar selepas subuh dengan adanya penyegaran lewat pemberian mufrodat ini, karena dengan sistim interaktif antara guru dan murid, suasana mufrodatpun tidak akan terasa bosan.
  • Mengajar merupakan tugas pokok seorang Ustadzah. Setelah berabagai ilmu kita dapatkan, saatnya kita mengamalkannya. Merupakan kesempatan luar biasa, baru lulus SMA sudah dipercaya untuk mengajar. Tentu ini akan menjadi pengalaman berharga bagi seorang Ustadzah dimasa depan.
  • Setiap Ustadzahpun ditempatkan untuk membina kegiatan anak-anak yang sesuai dengan potensinya. Bakda asar adalah waktu yang tepat untuk mengaplikasikannya. Ada Ustadzah yang membimbing ekstrakurikuler Paskibra, Pramuka, Nasyid, dan Klub Sastra. Namun adapula yang di tugaskan untuk menjadi staff unit usaha Pondok, seperti Mini Market dan Warnet. Ini tentunya menjadi wahana pengembangan potensi yang dimiliki para Ustadzah.
  • Selepas Shalat Magrib, para Ustadzat kembali berkumpul dengan anak didiknya dalam kegiatan yang di sebut sorogan. Disini seorang Ustadzah kembali berperan sebagai guru, dengan mengulang kembali pelajaran-pelajaran kitab agar si anak mendapatkan pemahaman yang lebih baik selain hanya belajar dikelas. Tentulah kegiatan ini menuntut seorang Ustadzah untuk kembali mengkaji kitab-kitab yang dulu pernah dikajinya.
Bersambung...

2 comments:

  1. Sip-sip, Allah Azza Wa Jalla selalu punya rencana yang indah

    BalasHapus
  2. setuju,...belum tentu yang menurut kita baik adalah baik menurut-Nya

    BalasHapus