Bicara Kartini, Bicara Gender Equality


Lena Sa’yati


 
Saat duduk dibangku SD, seringkali kita menyanyikan lagu berikut,

Ibu kita Kartini,
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Dulu kita hanya disuruh guru untuk menyanyikannya, tanpa diberi tahu dan tak mau tahu siapa itu Kartini? Mengapa sampai namanya dibuat menjadi lirik lagu kebangsaan? Mengapa sampai harus ada hari peringatan kelahirannya? Apakah yang telah dibuatnya lantas namanya menjadi sebuah gaung yang amat hebat dalam sejarah perempuan di Indonesia? Bahkan sampai di negri Kincir angin Belanda? Yang kita dan anak SD pada umumnya tahu, bahwa Kartini adalah seorang pahlawan bangsa. Itu saja.

                Raden Adjeng Kartini, atau biasa disebut Kartini, adalah seorang wanita pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia, lantaran telah menciptakan image baru perempuan pada masa itu dengan pemikiran dan perjuangannya terhadap kaum perempuan pribumi.
 Pada masa penjajahan Belanda, kondisi sosial kaum perempuan amatlah memprihatinkan. Kartini yang merupakan seorang suku Jawa tahu betul bagaimana kaum perempuan saat itu diperlakukan. Terlepas dari adat yang mengharuskan seorang gadis berusia 12 tahun ke atas harus di pingit, dan ketika dewasa harus menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak dikenal, pun pada masa itu, kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam bidang pendidikan dan kebebasan untuk memilih.
Kartini yang merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati di Jepara, setidaknya pernah mengecap dunia pendidikan dengan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) meski hanya sampai usia 12 tahun saja. Namun berangkat dari pendidikan yang diecapnya itu, Kartini lantas memiliki sebuah pandangan berbeda terhadap kaum perempuan yang saat itu mendapat perlakuan yang tidak pantas. Kaum perempuan yang ruang geraknya sempit, hanya menjadi kuncen rumah, dengan istilah hidupnya cukup di kasur, dapur, dan sumur, yakni melayani suami, memasak, dan mencuci saja.
Namun Kartinipun sadar, bahwa Ia merupakan bagian daripada kaum yang mendapat perlakuan diskriminatif tersebut. Yang juga dirinya mulai dipingit saat usianya menginjak 12 tahun. Maka, Kartini hanya bisa menuangkan segala uneg-uneg, harapan, ambisi, dan sikap protesnya lewat tulisan-tulisan yang kemudian semakin menumpuk hingga menjadi beberapa eksemplar buku.
                Tidak cukup hanya dengan terus-terusan menulis, Kartinipun akhirnya sering saling berkirim surat dengan sahabat penanya di Belanda. Kebanyakan tulisannya membahas tentang kondisi sosial kaum perempuan pribumi. Hal ini pula yang kemudian menjadikannya semakin dikenal di negri kincir angin itu, sampai namanya dipampang jelas di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer. Sempat pula pada saa itu Ia meminta izin pada ayahnya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya, namun kandas lantaran Ia harus menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
                Dari pernikannya itu, justru Kartini mendapat dukungan penuh dari suaminya untuk mendirikan sekolah wanita. Hal ini yang membuat Kartini lantas tidak menyesal karena Ia gagal melanjutkan jenjang pendidikannya. Maka, dengan hadirnya Kartini ditengah-tengah kondisi sosial kaum perempuan yang amatlah rendah pada saat itu, yang sama sekali buta akan huruf, tidak pernah merasakan bagaimana dunia pendidikan, Ia seakan menjadi icon baru terhadap kebangkitan kaum perempuan pada masa itu, yang kemudian menjadi bias pada sebuah gerakan yang kita sering menyebutnya dengan gerakan EMANSIPASI.
                Kartini dan emansipasi atau kesetaraan gender, seakan menjadi sebuah magnet yang saling berkaitan erat. Kartni memang tidak mendeklarasikan bahwa dirinya seorang pelopor emansipasi, namun melihat perjuangannya membangkitkan kondisi kaum perempuan pribumi saat itu, menjadi alasan mengapa Ia disebut sebagai pelopor emansipasi.

Fenomena Gender Equality
                Emansipasi atau yang saat kini kaum intelektual lebih sering menyebutnya dengan gender equality ternyata menjadi seonggok isu yang tak pernah padam gaungnya di negeri ini bahkan sampai seantero dunia. Bukan lagi menyangkut Kartini, namun lebih pada sikap protes kaum perempuan yang ingin mendapatkan kesetaraan dengan kaum laki-laki. Beragam alasan yang melatarbelakangi mengapa sampai terjadi problematika antara ketidak selarasan hubungan kaum laki-laki dengan kaum perempuan ini. Dari mulai yang berasaskan kebebasan, pendapat ilmiah, sampai dendam sejarah.
                Tuntutan gender equality inipun semakin gencar dipublikasikan dan bahkan menjadi suatu kebijakan di negeri ini. Keharusan para anggota DPR yang 30% nya adalah kaum perempuan merupakan fakta riel di Indonesia. Kemudian, semakin gencar lagi, gerakan ini diterapkan dalam wacana akademik, seperti yang terjadi di salah satu Universitas Islam Negri yang membentuk Pusat Studi Wanita (PSW). Pun yang lebih dekat dengan lingkungan kita sehari-hari yaitu seorang Ibu yang memilih untuk menjadi wanita karir.
                Namun yang lebih ekstrim lagi, gender equality ini menjadi suatu problem yang semakin menjadikan seorang perempuan bersikap brutal, tak menerima kodrat, dan mulai bertindak macam-macam yang pada akhirnya dapat melanggar nilai-nilai masyarakat atau lebih jauh lagi melanggar nilai-nilai normatif agama, terutama agama islam, yakni Al-Quran dan hadist.
                Jika kita menengok jauh keluar sana, wacana gender equality ini menjadi sangat mengerikan bila kita mengenalnya lebih dalam. Protes para wanita di barat kini telah melahirkan sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan feminism. Sebuah gerakan yang menuntut kesetaraan gender. Namun lebih dari pada itu, gerakan feminisme bukanlah sembarang gerakan yang dibentuk untuk memprotes dan menuntut. Gerakan ini telah melangakah jauh dengan membentuk suatu konsep, menyebarkan paham-pahamnya ke Negara-negara Islam, atau bahkan menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca kemajuan.
                Amina Wadud yang merupakan seorang feminis liberal, juga seorang profesor Islamic Studies di Virginia Commonwealth University telah menggemparkan dunia dengan menyuguhkan fenomena ganjil yang kemudian mengundang kontroversi. Ia memimpin shalat jum’at di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Street, New York. Ia menjadi imam sekaligus khatib dalam shalat jum’at yang pada saat itu jamaahnya mencapai 100 orang, mencakup laki-laki dan perempuan.
                Kemudian pada tahun 2003, sekelompok aktivis dan ulama yang tergabung dalam Forum kajian Kitab Kuning telah menerbitkan buku bertajuk “Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah kitab ‘Uqud Al-Lujayn” yang juga memperjuangkan gender equality. Namun yang disayangkan, mereka menolak segala macam hukum yang dianggapnya diskriminatif terhadap kaum perempuan. QS 4:34, pun mereka artikan dengan penafsiran baru lagi. Bahwa ‘kelebihan’ yang dimaksud disana itu bukanlah kelebihan yang bersifat natural, namun lebih pada prestasi yang mampu dicapai.
                Ada pula upaya perombakan hukum-hukum islam sebagaimana dilakukan para kaum gender yang tergabung dalam PSW (Pusat Studi Wanita) dengan bukunya Isu-isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar. Persoalan seperti mengapa adzan harus dilakukan oleh laki-laki, mengapa shaf wanita harus di belakang, sampai usrusan rumah tanggapun ikut dibahas dalam buku ini. Yang sangat mencolok sekali, mereka menggugat fitrah kodrati yang telah diberikan Allah pada kaum perempuan. Seperti, menyusui anak sebenarnya tidak mesti dilakukan oleh perempuan. Perempuan cukup mengandung dan melahirkan saja, selebihnya adalah tugas suami. Dan lain-lain.
                Dan yang lebih mengerikan, kaum feminis radikal lebih menyoal pembagian hak keadilan terkait alat reproduksi wanita dan laki-laki beserta tanggung jawab seksual yang mereka kira tidak adil. Wanita diposisikan sebagai alat pemuas laki-laki, maka dengan tanpa malu, pendukung feminis radikal ini mendeklarasikan bahwa perempuan bisa memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki. Yang kemudian menjadi ide awal yang melahirkan praktek seks menyimpang yang disebut dengan lesbianisme di Barat.  
                Cukup membuat bergidik memang saat kita mengetahui beberapa kasus di atas. Namun yang lebih mengherankan lagi adalah, bahwa kaum gender di Barat dengan gencarnya menyebarkan paham-paham feminism dan gender ke Negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam. Termasuk di Indonesia sendiri, kini sudah banyak yang mendukung paham feminism. Sehingga tak ayal pemberontakan menuntut kesetaraan gender di negeri inipun kian hari kian menjamur. Yang salah satu bentuk rielnya kemudian melahirkan kebijakan bahwa 30% anggota legislatif harus perempuan.

Meluruskan pandangan terhadap Tuntutan Gender Equality
                Fenomena gender equality yang kini kita temui memang sudah menyimpang jauh sekali dari tuntutan kesetaraan gender yang Ibu Kartini perjuangkan dulu. Kartini dulu hanya ingin kaum perempuan mendapatkan posisi dan perlakuan yang patut dari hanya sebatas kuncen rumah saja dengan tidak sama sekali mengecap bangku sekolah. Namun Kartini masa kini adalah para perempuan yang menjual ‘emansipasi’ dengan tujuan komersial dan berlandaskan rasa kebencian terhadap lawan jenisnya. Evolusi yang terjadi dari masa Kartini hingga sekarang ternyata malah menjadikan kaum perempuan kembali menjadi obyek kajian yang mungkin lama-kelamaan bisa jadi disamakan dengan jaman dahulu, atau bisa pula menjadi amat brutal dan semakin tak terkendali.
                Maka dari pada itu, patut rasanya bila kita terutama kaum perempuan sedikit merenung atas apa yang menimpa kondisi sosial kaum perempuan pada masa sekarang dengan menelisik lebih dalam apa hakikat seorang perempuan? Bagaimana batas-batas kewajaran ruang gerak perempuan sampai terbentuk dalam lingkungan sosial? Dan mengkaji lebih dalam lagi dua guidelines umat islam yakni Al-Quran dan Hadist yang sudah pasti menjadi sumber dari segala hukum yang berlaku bagi kita selaku umat islam.

                Barat sebagai pencetus konsep-konsep, paham serta sebuah gerakan yang dinamakan feminism seakan menjadi icon yang sangat manjur untuk menyokong adanya kesetaraan gender terutama di negeri kita. Namun jangan sampai disamakan, walau bagaimanapun barat dengan kita adalah berbeda. Barat yang sudah sekuler-liberal, hingga agama sudah tidak lagi memiliki kekuatan apa-apa dalam menangani problem kesetaraan gender ataupun prilaku seksual masyarakat yang sudah sangat menyimpang dan liberal, tentu menjadi alasan mengapa gaung penyokong feminis masih eksis berdiri di sana. Namun lihatlah diri kita, kita yang mayoritas agamanya muslim sedunia, kita yang menjunjung tinggi agama dan menjadikannya panji kehidupan, kita yang memiliki sumber segala hukum dengan kedua nilai-nilai normatif agama, kita yang mengenal sosok Ibu Kartini dengan perjuangannya yang tidak pula melupakan fitrah kodrati dan jasmani dirinya sebagai seorang perempuan, jelas tidak akan berhasil bila gerakan feminism ini tetap bersih kukuh maju.
                Emansipasi atau gender equality bukanlah alasan agar kaum perempuan yang semula merasa dirinya dibatasi ruang geraknya baik dalam media masa atau domestik, kemudian ingin posisinya setara layaknya seorang pria, yang kemudian perempuanpun tetap bisa menjadi ikut andil dalam berbagai bidang, dari mulai pendidikan, media masa, ekonomi, rumah tangga, karir, sampai politik. Kaum perempuan harus sadar diri, dari awal penciptaanya saja sudah tidak sempurna, yakni dari tulang rusuk seorang laki-laki. Kalaupun menuntut kesetaraan gender, perempuan hanya bisa menjadi sejajar dengan laki-laki, dan bukan sepenuhnya menjadi tipologi laki-laki.
 Walau bagaimanapun baik laki-laki maupun perempuan, keduanya telah dianugrahi kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Laki-laki yang dianugrahi akal dan kekuatan lebih matang menjadikannya wajib menjadi tulang punggung sehingga menciptakan konstruksi sosial bahwa laki-laki harus berada di luar (mencari nafkah). Dan perempuan dengan dianugrahi perasaan yang lebih peka ketimbang laki-laki menjadikannya patut untuk membina anak-anak dan kaumnya dengan kelembutan dan halus perasaan hingga membentuk konstruksi sosial bahwa perempuan harus berada di dalam rumah (mengurus anak dan suami). Dan kedua hal tersebut, tidak lantas menjadi sebuah bentuk diskriminatif terhadap kaum perempuan. Dalam batasnya, perempuan tetap wajib mengecap dunia pendidikan, dan diperbolehkan untuk menentukan pilihan. Bukankah begini akan lebih indah, selaras dan damai. Semua kembali pada fitrahnya masing-masing.
Maka, ketika kaum gender mengatakan bahwa menyusui anak tidak mesti dilakukan oleh perempuan, hal ini telah menyalahi kodratnya bahwa seorang perempuan telah dianugrahi dua payudara untuk menyusui anak-anaknya. Bahkan dari segi medispun sudah bisa membuktikan sendiri bahwa air susu ibu memiliki efek yang sangat baik bagi si anak.
Kemudian penyokong kaum feminis radikal yang mendeklarasikan prilaku seks menyimpang lesbian dengan alasan bahwa tanpa laki-laki perempuan tetap bisa memenuhi kebutuhan seksualnya, ini sungguh perbuatan yang sangat dilaknat. Bila semua perempuan menganut paham ini, lantas bagaimana generasi-generasi penerus umat lahir? Ini sama saja dengan sikap takabur juga penentangan terang-terangan terhadap hukum terutama Islam yang memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menikah agar melahirkan kembali generasi-generasi penerus umat.
Atau tuntutan bahwa seorang perempuan mampu menjadi tulang punggung keluarga, dengan menjadi seorang wanita karir. Jangankan di Barat yang sistem tatanan hidupnya sudah sekuler dan liberal, di Indonesia tidak terhitung banyaknya perempuan-perempuan yang meskipun suaminya masih dapat mencari nafkah dengan baik, tetap memilih untuk menjadi wanita karir dengan alasan emansipasi. Namun tanpa disadari, lambat laun perempuanpun akan sadar, bahwa dirinya mempunyai tugas lain yang sudah menjadi konstruksi sosial yakni mengurus anak dan pekerjaan rumah. Tak dapat dipungkiri, rumah tanggapun akan terganggu keharmonisannya. Maka tak ayal baik di Barat maupun di negeri ini, seorang perempuan dewasa dibingungkan oleh dua pilihan: menjadi wanita karir, atau mengurus rumah tangga. Karena sangat kecil sekali peluang untuk hidup harmonis bila tetap bersikukuh ingin memilih dua-duanya.
Kedua hal di atas harusnya menjadi bahan renungan kita untuk berpikir ulang tentang makna emansipasi atau gender equality yang sebenarnya. Perbedaan natural yang terbentuk dari laki-laki dan perempuan dengan berbeda penciptaan sampai perbedaan alat reproduksi, juga perbedaan-perbedaan lain yang tercipta dari adanya hukum-hukum dan nilai-nilai dalam masyarakat semestinya tidak lantas menjadikan kedua makhluk tersebut saling beradu kekuatan. Perbedaan adalah rahmat, dan bukankah itu indah. Tanpa perbedaan dunia terasa hambar, datar, tidak ada warna lain kecuali putih atau hitam. Yang harusnya terbentuk dari perbedaan itu adalah sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain, bukan saling menuntut dan saling menjatuhkan.
Jika hal tersebut benar-benar teraplikasi dengan baik, Kartinipun akan tersenyum melihatnya. Perempuan  bukan hanya mendapat hak-haknya, tapi juga memeperoleh kemanusiaannya, namun tetap tidak melupakan fitrahnya sebagai makhluk yang di anugrahi perasaan, dan juga tidak melangkah jauh dari pemahaman emansipasi yang sesungguhnya. Hingga menciptakan sebuah keselarasan dimana laki-laki dan perempuan saling menghormati, saling mensupport, dan saling menyayangi. 



Notes     : Saat menulis catatan ini, saya tahu saya ini makhluk apa, dan saya sadar bahwa saya 100% seorang wanita!

MENILIK SEMUA PERAN DALAM UJIAN NASIONAL (UN)


Oleh: Lena Sa’yati, STPT Condong Tasikmalaya


Bulan April ternyata menjadi bulan yang cukup menegangkan bagi sebagian masyarakat kita. Mereka adalah golongan pelajar kelas tiga SMP maupun SMA dan sederajatnya. Puncak dari hasil belajar mereka berdasarkan peraturan pemerintah, jatuh pada bulan April ini, yakni dengan diselenggarakannya Ujian Nasional (UN) yang kerap mengundang kontroversi dari berbagai kalangan. Sejak kebijakan tersebut digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 UN menjadi sebuah kebijakan yang kian mewarnai dunia pendidikan di negri ini. Terang saja, karena dalam ilmu kependidikan,  kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.  Maka hal ini menjadi salah satu faktor mengapa UN seringkali mendapat tanggapan kontra dari masyarakat. Bukan hanya itu, jika ditinjau berdasarkan substansial UN yang tiap sekolah baik yang berlokasi di perkotaan maupun dipelosok disamaratakan, tentu ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin sekolah yang dipelosok dengan fasilitas yang sangat minim juga tenaga staff pengajar yang kurang memadai, anak didiknya harus mengahadapi soal yang sama dengan siswa lain di sekolah perkotaan yang fasilitasnya sangat mendukung ditunjang staff pengajar yang juga berkualitas. Dalam mata pelajaran bahasa inggris, misalnya, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Lantas bagaimana dengan nasib mereka yang berada di pelosok sana?. Apakah mungkin pepatah ‘Don’t judge a book by it’s cover’ masih dapat berperan dalam situasi seperti ini. Justru malah akan menimbulkan kecurigaan bila ternyata nilai UN peserta didik di sekolah pelosok lebih besar di banding mereka yang sekolah di perkotaan. Mungkin kita tak sepenuhnya harus menyalahkan pemerintah lantaran beberapa kasus tersebut, namun sepantasnyalah setelah ditemukan berbagai macam kekurangan dan ketidakberesan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah kembali mengambil tindakan yang tegas. Jikalau anak kelas 3 SMP atau SMA ditanya, kebanyakan dari mereka sangat menginginkan UN dihapus saja. Namun kita belum tahu apakah pemerintahpun sejalan dengan pendapat tersebut.
                    Yang menjadi sasaran kontroversial UN itu tentulah para peserta didik yang jika ditinjau dari aspek sosial dan psikologis ternyata mereka ini sangatlah merasa tertekan. Termasuk saya sendiripun pernah merasakan hal yang sama. Bayangkan saja, sekian lama mereka belajar mati-matian, ditopang dengan adanya berbagai pengayaan, demi memperjuangkan standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005, hingga 5,5 untuk tahun 2010/2011. Seakan angka-angka itu menjadi momok menyeramkan yang kian menghantui disetiap mereka memandang barisan soal dihadapannya. Selain harus memiliki persiapan mental dan kemampuan belajar yang baik, ternyata merekapun harus berhati-hati tatkala membulati jawaban. Karena seringkali terjadi, meskipun jawabannya benar, namun lantaran tidak membulati jawabannya dengan benar, maka jawaban itupun tetap salah (disini mesin yang berperan). Dari situ, munculah berbagai macam kacurangan yang tak henti-henti setiap tahunnya. Semisal guru yang mengobral soal-soal UN, guru yang membetul-betulkan jawaban murid, mencuri lembar jawaban UN, sampai bekerjasama dengan pengawas ujianpun sudah sangat tak asing lagi ditampilkan media masa terutama media TV. Imbasnya kembali pada murid-murid, para guru, dan juga lembaga sekolah. Sehingga, tak sedikit kasus tragis semisal bunuh diri lantaran tak lulus UN pun terjadi. Ini tak bisa dianggap remeh. Karena tidak semua mental peserta didik itu sama. Mungkin bagi mereka yang bersifat easy going ya akan bersikap biasa saja tatkala mengetahui dirinya tidak lulus. Namun tidak demikian bagi mereka yang memiliki mental yang mudah menciut jika mendengar sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Hasilnya, ya kasus bunuh diri itu. Maka, pantas sekali bila mereka seringkali meneriakan “ Aku ingin cepat-cepat UN”. Bukan karena ingin cepat-cepat bergelut dengan deretan soal, namun karena ingin cepat-cepat melewatinya. Pernyataan seperti ini tak lain karena mereka memiliki motivasi ingin melanjutkan jenjang pendidikan. SMP ke SMA, dan SMA ke Perguruan Tinggi. Bagi mereka yang berambisi ingin tembus Perguruan Tinggi Negri (PTN), maka harus berjuang keras untuk mendapat nilai sebaik-baiknya. Dan bila itu tak terjadi, maka mereka harus kembali melakukan ujian susulan. Inilah yang kian menambah tekanan batin para peserta UN.
            UN rupanya telah membuat semua orang geger dan lupa segalanya. UN seringkali menjadi isu terhangat tiap pergantian tahun pendidikan. Bagaimana tidak, kerja keras peserta didik selama tiga bulan pada akhirnya harus berterima pasrah hanya dalam tiga hari untuk SMP, dan enam hari untuk SMA. Jika saja UN bukan patokan untuk bisa melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, mungkin semua kecurangan, kasus-kasus, serta konfrontasi antara masyarakat dan pemerintahpun tidak akan semenghawatirkan seperti sekarang ini. Kendati demikian, UN sebenarnya tetap bisa berjalan dengan baik tanpa hal-hal yang menghawatirkan tersebut. Meski standar nilai UN tidak cukup bagus, yang terpenting adalah proses mengahadapinya yang harus dilakukan sebaik mungkin. Dengan belajar sungguh-sungguh, tidak melakukan kecurangan, dan banyak berdo’a demi kelancaran saat menghadapinya. Hal ini yang lebih dinilai plus dalam dunia pendidikan yang sesungguhnya. Tidak berarti apa-apa jika nilai itu tinggi tapi dari hasil yang sangat rendah dan hina. Disinilah diperlukan sosok guru yang memiliki ruh guru yang jujur dan berkualitas dalam mendidik murid-muridnya. Sehingga, citra guru sebagai seorang pendidik yang mulia akan terangkat, pun citra murid sebagai peserta didik yang berkewajiban untuk tholabul ‘ilmi akan teraplikasi dengan baik. Dengan begitu, seberat dan sesulit apapun setiap kebijakan yang digulirkan pemerintah dalam dunia pendidikan semisal UN inipun akan menggapai hasil yang baik dengan jalan yang baik pula.
Terakhir, saya ucapkan Selamat dan sukses untuk siswa kelas IX dan kelas XII dalam menghadapi Ujian Nasional tahun ini. Semoga berjalan lancar, amin.

Kisah Mengharukan Ibu dan Anak


Lena Sa’yati, Sekolah Tinggi Pesantren Terpadu (STPT)



                Mula-mula dongkol dan kesal luar biasa, lalu kemudian menjadi sebuah keharuan dan kebahagiaan tak terkira. Saya ini sedang ngomong apa? Hei kawan, ini adalah sebuah kisah bagaimana GENK ANGELS berusaha mempertaruhkan eksistensinya sebagai kaum perempuan yang peduli pada sesama. Tidak bermaksud sombong, ria, atau bahkan takabbur, ih na’udzubillah. Hanya ingin berbagi cerita, berbagi pengalaman, dan berbagi hikmah yang sampai saat ini masih sedang kami telaah makananya.
                Genk Angels hanyalah sebutan ngasal buat empat mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Tasikmalaya, ada Angel Putih, Angel Pink, Angel Biru, dan Angel Hijau, yaitu saya sendiri. Lho kok bisa? Bermula saat kami sedang ngumpul bareng, dan iseng salah satu dari kami nyeletuk menyebut saya Angel Hijau, itu karena saya sangat menyukai warna hijau, nah maka kami berinisiatif untuk saling menyapa satu sama lain dengan sebutan angel beserta warna kesukaannya. Tapi tidak sampai disitu, layaknya seorang angel, yang berhati bersih, suka menolong, baik dan tidak sombong. Oh iya, satu lagi, bersikap lembut dan anggun bak putri. Maka, kami ingin sekali bisa menjelma menjadi angel yang sesungguhnya, minimal dengan sifat-sifat baik tadi. Tapi pastinya ini akan sangat sulit, tapi dengarlah kisah ini, tiba-tiba menyeruak rasa senang tak terkira ketika akhirnya, sifat angel yang suka menolong bisa ‘sedikitnya’ kami teladani. Hmm...gimana ya ceritanya? Okey, let’s check it out!  

Suatu Malam
Sekitar seminggu kebelakang, kamar menjadi hunian yang tidak nyaman lagi bagi saya dan angel biru. Kami tinggal sekamar berdua. Sudah seminggu saya dan angel biru di ganggu dengan kedatangan seekor kucing yang superrrrrrrrrr aneh! Sekali pintu terbuka sedikit saja, pasti kucing itu akan bersih keras untuk masuk. Warna bulunya putih loreng abu-abu. Bagian perutnya tampak menggelayut, bibirnya kotor, dan kakinyapun juga kotor. Kalau kucing ini sudah masuk, serentak para angels akan menjerit, dan melulu saya yang harus menggiringnya keluar (meskipun saya juga takut sih, hehe). Kejadian ini terus berulang sampai tujuh hari lamanya.
                Yang lucu, pada satu malam, ketika para ustadzat dan para angels berkumpul di kamar saya tercinta, diantara kami tidak ada satupun yang menyadari kedatangan kucing itu, dan tiba-tiba saja, dia sudah berada di tengah-tengah kami. Yang menghebohkan, kali ini Ia berani membawa seekor kucing kecil yang sepertinya baru lahir. Oh my God! Kami kaget tak terkira, bingung, dan juga panik. Mau di giring suruh pergi, si Kucing itu malah mengkilah terus-terusan, terus berkelit dari giringan ujung sapu. Kamipun berubah menjadi orang-orang aneh dengan beragam karakter ketika harus beramai-ramai mengusir kucing itu. Ada yang seperti mau nangkap ayam, ada yang kayak mau mau nyangkul di sawah, ada yang menempel di dinding lantaran takut, dan lain-lain. Kucing itu terperangkap di tengah-tengah kepungan kami, tapi sekali lagi Ia behasil berkelit, salah satu dari kami cepat-cepat mengambil kardus, dan mencoba memasukannya, tapi cepat pula kucing itu menyeruak keluar. Kami menjerit lagi, dan terus berjaga-jaga, agar jangan sampai kucing ini beranak di kamarku! Dengan mengumpulkan segudang keberanian, sayapun menjiwir leher atas kucing itu hingga keluar pintu, dan akhirnya saya berhasil! Horeeeeeee,...semua bertepuk tangan sambil tertawa hebat. Sebaliknya, saya lemas bukan main, saya terkulai lemas di balik pintu sambil berpegangan pada gagang pintu.
                “ Hei, hei si Elle kenapa? “ Salah satu dari mereka tersadar, tapi mereka malah tertawa terpingkal-pingkal, ya ampun, padahal saya beneran lemas. Tapi kemudian saya paksakan untuk ikut tertawa,...jadilah kamar saya heboh, boh, boh, seheboh-hebohnya! Saya sempat merenung, ini baru menghadapi “kucing”, bagaimana menghadapi Yahudi?! Haha,..so’ so’an ya saya mikirnya. Habisnya malu-maluin banget, masa manusia yang jumlahnya banyak, kalah sama satu ekor kucing! Beuh, ah,...ini mah malu pisan.

                Lantas, apakah cerita tamat sampai disitu? Oh, tentu tidak! Ada lagi hal yang sangat mencengangkan! Setelah kejadian itu, sekitar jam setengah sebelas, mereka pulang ke kamar masing-masing, tinggal saya dan angel biru yang tetap berada di kamar. Sekitar pukul 00.00, saat angel biru sudah pulas, saya masih terjaga, tiba-tiba dari balik lemari, sesekali saya mendengar suara kucing yang sedang mengeong, lalu hilang lagi, muncul lagi, dan begitu seterusnya sampai saya penasaran ingin menyingkap balik lemari saya. Lalu sesekali pula berkelebat dalam pikiran saya, apakah ini hanya halusinasi? Atau bahkan jelmaan kucing yang tadi saya usir? Hiks,..saya mulai tak tenang tidur, saya jadi merasa bersalah luar biasa. Antara takut, aneh, dan merasa bersalah berkelebatan menyelimuti perasaan saya malam itu. Sayapun mulai berdo’a,
Allohumma qini adzabaka yauma tab’atsu ‘ibadaka,
baru mau mengatupkan kelopak mata, tiba-tiba,
“ meong,”
Arrrrrrrrrghhhhhhhhhh....saya menutupi diri dengan selimut!
***
Masih seputar kucing, malam selanjutnya, ketika para angels berkumpul di kamar saya seperti biasanya, kami bermaksud belajar bersama untuk menghadapi UTS yang akan dilaksanakan sekitar satu jam setengah lagi. Wow, ujian malam-malam, keren gila ya. Namun lagi-lagi kami dekejutkan oleh kedatangan si kucing yang kemarin saya usir. Oh, tidak! Saya kembali lemas. No more, deh. Saya nyerah, saya insyaf, gak mau ngsir-ngusir lagi. Jadilah kami biarkan dia berjalan-jalan sepuasnya di kamar saya. Lalu Ia mengeong-ngeong beberapa kali, dan ajaibnya, setelah Ia mengeong, spontan ada suara lain yang menyahut juga dengan mengeong! Kamipun saling beradu pandang!
“ jangan, jangan, ...” Kata angel putih.
Kami langsung mengerti! Kami yakin pasti ada kucing lain yang tinggal di kamar ini. Lalu kami mencoba mendekati kucing tadi. Sedikit bego, kami ajak Ia bicara, supaya kembali mengeong agar kami bisa kembali mendengar suara kucing satunya lagi. Kucing itupun menurut! Wow, amazing! hehe, padahal Cuma kebetulan kali ya? Ia mengeong terus menerus, sampai akhirnya kami bisa mendengar suara kucing satunya lagi. Tapi suaranya lebih kecil dan lemah dari kucing yang besar, maka kami menyimpulkan, bahwa kucing yang terjebak itu adalah anaknya! Ya, anaknya terjebak di belakang lemari saya dan angel biru yang penuh dengan tumpukan buku-buku perpus. Oh, malangnya si anak kucing. Sejenak kami memperhatikan gerak-gerik si Ibu kucing yang mondar-mandir mecari jalan agar bisa mengeluarkan anaknya. Tiba-tiba kami tertegun dan membayangkan Ibu masing-masing. Mungkin Ibu kamipun akan sangat khawatir pada anaknya jika tahu kalau anaknya terjebak di suatu tempat. Ibu pasti berusaha keras untuk membebaskan kami walau bagaimanapun caranya. Barulah kami mengerti mengapa kucing ini tak pernah pantang mundur untuk masuk ke dalam kamarku. Dan suara aneh yang kudengar tengah malam itu memang asli suara kucing. Tepatnya suara anak kucing yang meronta-ronta ingin segera terbebas dari keterjebakannya. Betapa malngnya nasib kucing satu ini. Saya benar-benar merasa bersalah. Tanpa disadari, saya telah memisahkan si anak dari ibunya dengan terus-terusan mengusir ibu kucing itu. Maafkan saya ya Ibu kucing.
Maka, para angels berinisiatif untuk menggeser lemari saya yang super berat, dan mengeluarkan buku-buku yang menumpuk itu. Namun ketika akan mengeluarkan buku-buku, tiba-tiba si Ibu kucing malah mencakar kakai angel putih, sampai Ia menjerit-jerit! Mungkin si ibu kucing menyangka bahwa kami akan mendahuluinya untuk mengambil sang anak, padahal kan kami Cuma mau bantu!  Nah, supaya si ibu kucing tidak mencakar kami, maka sementara Ia kami bekap dulu di dalam lemari kosong. Wow, tahu apa reaksinya? Si ibu kucing mengeong keras sambil mencakar-cakar lemari. Kamipun bekerja lebih cepat, buku-buku berat mulai kami keluarkan satu persatu. Lalu kami berpura-pura mengeong agar si anak kucing terpancing. Dan setelah buku-buku berhasil dikeluarkan, angel putih berhasil melacak keberadaan si anak kucing itu. Ciee, udah kayak polisi nyari anak hilang aja tuh angel putih, haha.
Betapa senang ketika kami berhasil menemukan anak kucing itu, dan kami sangat sedih ketika melihat keadaannya. Bulunya tipis-tipis, badannya kering, dan suaranya sangat parau. Oh, kucing malang. Angel putihpun membawa kucing itu dilapisi selembar kertas, biar ibunya gak marah. Walhasil, kami bebaskan si ibu kucing, dan kami pertemukan Ia dengan anaknya. Seketika si ibu kucing berbaring dan menjilati anaknya, lalu menyusuinya. Hiks, hiks, sedih deh lihatnya. Kami hampir-hampir nangis. Berarti mereka sudah terpisah sekitar satu minggu! Waktu yang cukup lama untuk memantau kesehatan anak bayi! Tanpa ada makanan, tanpa ada cahaya, tanpa air susu ibu. Beruntung anak kucing itu masih hidup.Ya Allah, maafkanlah kami yang brutal ini. Kalau tahu konfliknya serumit ini, mungkin kami sudah bantu dari dulu. Ah, tapi semua ini ada hikmahnya. Setiap pelajaran bisa kita ambil dari manapun. Termasuk dari kisah Ibu dan anak kucing ini. Betapa seorang ibu selalu tak pernah mau melihat anaknya bersedih, dan rela mati-matian untuk menyelamatkan anaknya tercinta. Malu rasanya bila mengingat betapa durhakanya saya pada ibu, Belum bisa jadi anak yang baik dan membanggakan. Tapi dalam hati yang terdalam, sungguh membahagiakannya adalah sebuah impian yang selalu ingin saya wujudkan, meski sangat sulit dilakukan.
Oh iya, setelah itu, para angels langsung tos bareng dan tersenyum lega bersama. Misi penyelamatan berhasil! Tapiiiiiiiiiiii...kamarku acak-acakan, kayak kapal pecah. Bagaimana ini? Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Selepas UTS, para angels bersama-sama membereskan kamar saya menjadi kembali seperti semula. Nah, sejak kejadian itu, si Ibu kucing gak ada lagi tuh ke kamar saya, padahal saya mau silaturahmi lho sama dia. Tapi tak apalah, mungkin hidupnya sudah bahagia di luar sana. Sampai jumpa ya Ibu kucing, dan terkahir, yuk kita berdo’a buat kedua orang tua kita.
Allohumagfirli waliwalidayya, warhamhuma kamaa rabbayaani sogiiro

Kampus STPT
11 April 2011, 12.05
Untuk si Ibu kucing, saya dan para angels minta maaf ya Bu..