DUA PURNAMA (Part 1)

KEMBALI PULANG
Lena Sa'yati, Sekolah Tinggi Pesantren Terpadu (STPT), Tasikmalaya
lenasayati@gmail.com
                  Saat kusibak tirai jendela, semburat cahaya matahari pagi menerpa kaca yang kemudian membuatnya silau berkilauan. Sesaat aku mengusap debu yang sedikit melekat pada permukaan kaca jendela, sudah lama rupanya aku meninggalkan rumah. Namun serta merta tak sengaja mataku melihat beberapa gadis desa tengah sibuk di jamban tepi kolam samping rumahku. Di kampungu memang masih banyak sekali kolam ikan, termasuk yang disamping rumahku itu. Ada satu jamban yang terbuat dari beberapa bambu yang dijejerkan ditepi kolam, disampingnya air jatuh mengalir dari pancuran yang juga bambu. Hanya ada satu ditepi kolam itu, maka setiap paginya sudah dipastikan beberapa gadis desa akan beramai-ramai mencuci piring atau mencuci baju disana, seperti pagi ini. Karena memang dikampungku masih sedikit rumah-rumah yang memiliki WC sendiri. Dan rumahku adalah salahsatu yang sudah punya jamban sendiri.
               Salahsatu diantara mereka menyadari kelakuanku. Dia lalu tersenyum lembut sambil mengangguk pelan. Khas orang sunda asli jika hendak tersenyum pada orang. Aku langsung menyambut senyumnya juga dengan mengangguk pelan. Kembali aku teringat akan maksudku untuk membereskan rumah, maka langsung saja kubuka daun jendela kamarku lalu kemudian beranjak merapikan kasur. Sungguh aktifitas sehari-hari yang seakan menjadi tabu kulakukan lantaran sudah terlalu lama tak melakukannya. 
               Pagi begini Mama tengah menggoreng bala-bala di Dapur. Bapak sudah pergi ke Kebon, Dua adikku Zam-zam dan Adil tengah memberi makan ternak mereka di samping kebon Bapak, dan dua adikku lagi, Fikar dan Ilham tengah bermain di halaman rumah. Mereka semua terlihat nyaman dengan pekerjaannya masing-masing, hanya aku yang murung, diam, dan seakan belum bisa menerima kenyataan. Kenyataan apa? biarlah aku menceritakannya sekarang.
***
                Kemarin aku baru saja pulang dari Pondok Pesantren dan juga Sekolahku. Aku sudah lulus SMA. Dan aku putuskan untuk pulang kekampung halamanku di daerah Tasikmalaya, tepatnya Salopa. Jauh dari apa yang aku bayangkan, bahwa selepas SMA aku akan putus sekolah dan kembali kekampung hanya dengan membawa ijzah sampai tingkat SMA saja. Padahal selama sekolah dan mesantren di Tasik-sebutan orang kidul untuk daerah perkotaan di Tasikmalaya-, aku cukup memilki prestasi untuk bekal melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi. Orangtuaku pun sudah cukup siap dengan segala biaya mencakup kuliahku nanti. Makin semangatlah aku saat itu, sampai berani bermimpi kuliah di UI lalu setelah itu mendapat beasiswa kuliah di Luar Negri.Dan itu berarti aku adalah orang pertama di kampungku yang mampu mendobrak image kebodohan dan keprimitifan yang orang capkan untuk penduduk disana. Bayangkan, kuliah di Universitas nomor satu di Indonesia, dan meneruskan kuliah S2 di Luar Negri, betapa bangganya orang tuaku, keluargaku, serta kampungku jika itu benar-benar terjadi. Maka, dengan kawan-kawan seangkatanku yang lain, akupun gencar mencari info-info seputar perkuliahan juga tak lupa dengan info beasiswanya. Aku memilih tiga Perguruan Tinggi yang akan aku ikuti saat itu. UI, UNPAD, dan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. UI karena aku selalu terpukau dengan lebelnya sebagai Universitas Indonesia. UNPAD, karena aku punya saudara di Bandung yang mungkin saja aku bisa ikut tinggal disana jika lulus seleksi. Dan UIN Syarif Hidayatulloh, karena Pamanku yang lulusan sana bersedia membantuku dari mulai tes masuk sampai tempat tinggalku nantinya. Maka, formulir pendaftaran untuk ketiga Perguruan Tinggi itupun aku kirimkan melalui online. Selain aku yang memilih ketiga perguruan itu dengan jalur SPMB, ada sebagian teman-temanku yang memakai jalur Bidik Misi. Tapi tak apalah, yang aku pikirkan saat itu hanyalah pengumuman hasil tes seleksi. Itu saja, yang lainnya aku tidak peduli lagi.
                 Setelah melakukan berbagai tes disana-sini, tibalah saatnya pengumuman hasil tes seleksi. Dan kau pasti tahu jawabannya. Namaku sama sekali tak tercantum dalam daftar para calon Mahasiswa dari ketiga perguruan Tinggi itu. Tak UI, UNPAD, maupun UIN. Sedangkan temanku yang lain, yang malahan niatnya hanya ikut-ikutan saja, berhasil lolos di UPI Bandung, UNJ, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Syarif Hidayatullah, dan yang paling mengagetkan, bahkan salah satu temanku berhasil mendapatkan beasiswa penuh jurusan kedokteran di UNPAD. Semuanya bahagia. Semuanya terharu. Mereka saling berpelukan saat membaca pengumuman. Mereka menangis dan segera menelpon orangtua masing-masing. Tapi aku, aku mundur dari tumpah ruah kebahagiaan yang mengharukan itu. Aku memilih duduk dipojok saja, menyendiri, memeluk erat lututku, dan membenamkan kepalaku diatasnya. Diam-diam aku menangis, terisak, dan semain lama semakin keras. Euforia kelulusan itu, daftar nama-nama itu, basiswa itu, berita membahagiakan buat orangtua itu, dan mimpi-mimpi itu, tak sama sekali menyapaku, tak peduli pada nasibku, dan bahkan tak mau sekalipun memberi kesempatan padaku. Dan saat itu aku hanyalah seorang murid termalang dari sekian banyak kemalangan yang menimpa para pelajar di negri ini. Aku sadar, bahwa semua impian dan harapan yang sudah terlukis rapi dalam benak ini, mulai sekarang harus segera kuhapus dan kembali membuat lukisan harapan yang baru. Tidak ada lagi kuliah di Universitas nomor satu di Indonesia, tidak ada meneruskan S2 di Luar Negri, hanguslah sudah impian menjadi orang pertama yang menghapus image kebodohan dan keprimitifan kampungku Salopa. Hanya itu yang terlintas dalam tangis kesengsaraanku saat itu. Hanya itu, teman. Itu saja.
***
                 Melihat gadis-gadis kampung yang sedang mencuci piring di jamban itu adalah sama halnya melihat diriku sendiri. Bahwa aku pada akhirnya hanya akan menjadi gadis kampung yang masa depan tercerahnya adalah menjadi seorang istri, mengurusi rumah tangga, dan bersiap tiap pagi  menjinjing rantang membekali suaminya pergi bertani. Tidak!...aku terenyah dari lamunanku. Aku ini lulusan SMA Terpadu Riyadlul 'Ulum Wadda'wah. Sekolah terpandang yang memiliki sejuta prestasi dalam usianya yang masih muda. Aku harus bangkit, aku telah digodog selama enam tahun disana, dibekali beraneka ragam ilmu, dan dididik dengan berbagai pembentukan karakter yang berkualitas, tidak mungkin kalau pada akhirnya hanya berujung pada kemalangan nasib seperti itu. Dan benarlah, sampai satu sms masuk di hpku.
               " Teh Mayla, dua hari lagi Bapak Hakim akan datang kerumah untuk memperbincangkan masalah staf pengajar di SDN Pawitra, terimakasih."
               Itu dari Mang Iik, saudaraku yang juga mengajar di SDN pawitra, tempat aku menimba ilmu sewaktu kecil dulu. Aku tersanjung. Baru lulus SMA sudah akan ditawari mengajar oleh pihak sekolah. Betapa sambutan masyarakat sangat agung terhadap pemuda-pemuda kampung yang punya kemauan untuk sekolah di Luar sana. Apalagi kalau aku benar-benar lulusan Luar Negri. Sudah jadi Presiden Kampung mungkin aku nanti. Tapi sudahlah, setidaknya tawaran ini bisa sedikit mengobati ketakutanku terhadap masa depan seperti para gadis desa itu. Bahwa menikah dalam usia dini, lalu harus megurusi rumah tangga, dan menaggung beban keluarga dengan pendapatan kecil lantaran tak memilki skill dan keterampilan tidak akan terjadi padaku. Semoga saja.

0 comments:

Posting Komentar