Jamuan Tahun Baru Islam

Lena Sa'yati, Sekolah Tinggi Pesantren Terpadu (STPT), Tasikmalaya
lenasayati@gmail.com
          Kadang kita lupa akan moment terpenting yang semestinya seluruh umat Islam memperingatinya. Tahun baru islam yang diawali dengan bulan muharam, kini telah datang menghampiri kita. Tak banyak orang yang ingat akan hal ini. Sekalipun ingat, itu karena pada kalender masehinya berwarna merah, tandanya hari libur. Barulah bisa ingat. Setelah ingatpun, tak ada sambutan meriah untuk bulan ini. Tidak ada tasyakur, pawai, atau bahkan kembang api. Padahal, saat orang-orang akan dihadapkan dengan tahun baru masehi, seakan persiapannya sudah dari dua minggu sebelumnya. Terompetnya, mobil untuk pawainya, kembang apinya, dan seabreg antek-antek persiapan lain. Lantas mengapa bisa begini? apakah tahun baru masehi lebih mulia dibanding tahun baru islam? Kenapa hanya tahun baru masehi yang digembar-gemborkan? bukankah Nabi kita telah memuliakan Bulan Muharam dengan menyebutnya sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Dikatakan demikian karena kemuliaan dan kelebihan bulan ini. Seperti yang diriwayatkan Al-Hassan Al-Basry rahimullah

"sesungguhnya Allah telah membuka lembaran Tahun baru didalam takwim Islam dengan bulan Muharam. Tidaklah kedapatan bulan yang lebih mulia didalam takwim Islam disisi Allah
selepas bulan Ramadhan melainkan Muharram yang terkhas disebabkan kehormatannya".

Lantas apakah kita tidak terketuk juga untuk ikut memuliakan bulan ini sebagaimana Nabi Muhammad yang sangat memuliakan bulan ini? Bahkan Nabi memposisikan kemuliaan bulan Muharam berada setelah kemuliaan bulan Ramadhan.
Jika kita mengaku sebagai umat Nabi, sudah sepantasnyalah kita turut memuliakan bulan ini dengan merayakan dari hal-hal positif yang bisa kembali menumbuhkan semangat kesatuan umat islam. Kenapa takut untuk menggembar-gemborkannya. Jika mereka mampu mendoktrin sekian banyak umat untuk turut serta mengagung-agungkan tahun barunya dengan diiringi syair-syair ceria yang khas sekali dengan moment umatnya, kenapa kita tidak? 
Setidaknya, meskipun tidak dengan perayaan yang justru lebih cenderung ke hedonis, umat islam semestinya memperingati tahun baru ini dengan hal yang bersifat khidmat, yaitu salah satunya dengan sama-sama menjalankan puasa di bulan Muharam ini.



Dari Abu Hurairah r.a. disebutkan Rasulullah s.a.w. bersabda, "Seutama-utama puasa sesudah puasa bulan Ramadan ialah puasa bulan Muharram dan seutama-utama solat sesudah solat fardu ialah solat malam". (Sahih Muslim)
Maka, dari situ seluruh umat manusia di duniapun akan dengan jelas dapat membedakan, manakah peringatan tahun baru yang sesungguhnya. Yang tidak hanya mentuhankan keduniawiaan demi sebuah kesenangan. Tapi dengan suasana khidmat dan damai yang dapat menumbuhkan persaudaraan diantara sesama umat. Karena tak sedikit dari mulanya pergi bergerombol untuk berpawai, namun yang terjadi di tempat tujuan malah saling tawuran, bahkan sampai ada yang tewas akibat kelalaian dalam lalu lintas. Inilah orang-orang yang hanya mentafsirkan tahun baru dengan pemikiran yang pendek. Mereka hanya tahu bahwa tahun baru itu adalah kembang api, terompet dan konser. Yang ternyata ujung-ujungnya malah menghasilkan musibah, bukan? Lantas mana kebahagiaan dan kesenangan yang diagung-agungkan itu? Maka kembali pada peringatan tahun baru islam yang diisi dengan melaksanakan puasa. Tentu akan jauh sekali perbandingannya. Bukan hanya kebahagiaan lahir yang diperoleh, bahkan kebahagiaan batiniyahpun akan kita dapatkan. Inilah kebahagiaan yang hakiki yang ditimbulakn dari perayaan yang hakiki pula. 

2 comments: