Tarian Daun Gugur

Lena Sa’yati, Pengurus Matapena Tasikmalaya
lenacinta@ymail.com


            Hari ini semuanya terungkap, sepanjang jalan yang telah kami ikuti kini sampai pada batasnya, setiap apa yang dipertanyakan kini mendapat jawabannya. Di tengah lapangan hijau nanluas, dia memeluk erat seorang wangan, di sekelilingnya para pendosa hanya merongrong meratapi nasibnya tanpa sedikitpun merasa bersalah. Sungguh menyakitkan. Dan lihatlah, air mata yang tak henti-henti berlinangan dipipinya itu telah menjadi bukti rasa perih yang menyakitkan. Tanah yang basah, beserta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksinya.
            “ Aku tak percaya ini,”
            “ Sulit untuk dipercaya, “
            “ Bagaimana mungkin kita sama sekali tak mengetahuinya?”
Sekelumit rasa ketidakpercayaan kami terhadap situasi ini cukup menjelaskan betapa Ia begitu lihai menyembunyikan semua ini.
***
            Namanya Ibu Halimah, Ia seorang janda terhormat yang pernah kami temukan dijagat ini. Perangainya baik, wajahnya teduh, tutur katanya sopan, namun berwibawa tinggi. Ibu Halimah cerdas luar biasa. Dan selain itu, Ia juga kaya raya.
            Kami selalu membanggakannya karena Ibu Halimah berjiwa sosial tinggi. Dari kekayaannya itu, dengan besar hati Ia telah berhasil mendirikan enam lembaga pendidikan dan dua panti asuhan. Dari mulai yang terkecil PAUD, sampai taraf seusia kami yaitu SMA, Ibu Halimahlah pemilik sekaligus kepala sekolahnya. Namun, sehubungan keadaannya yang semakin sibuk, Ibu Halimah kini hanya menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA saja, sedangkan yang lain Ia serahkan pada rekan-rekannya yang Ia pecaya. Namun yang selalu membuat kami merasa heran, mengapa Ia tidak pernah menyampaikan pidato pada saat upacara hari senin. Selalu tidak hadir, dan kami selalu tak pernah mendapatkan jawaban atas ketidak hadirannya itu.
            “ Kenapa Ibu Halimah tidak pernah sekalipun pidato pada upacara hari senin?” Aku memulai percakapan di meja kantin pada sang itu.
            “ Apa kamu tidak paham dengan keadaan beliau yang notabene termasuk orang yang super sibuk? Bayangkan, enam lembaga, Na, enam lembaga!” Sinta mengacung-acungkan jempolnya kedepan mukaku.
            “ Ah, tidak masalah bagiku tidak mendengar pidatonya. Toh aku sudah tahu bagaimana intonasi, mimik,ritme dan sopan santunnya saat berpidato pada acara kenaikan kelas. Pasti kalau upacara hari seninpun tak akan jauh berbeda.” Indah ikut menyahut sesaat sebelum Ia menyedot minumannya.
            “ Yang justru membuatku aneh itu, kenapa Ibu Halimah tidak pernah bercerita sedikitpun mengenai anaknya!...” Itu Lina. Namun kembali Indah menyahut,
            “ Dari sosok Ibu Halimah yang rupawan, sudah dipastikan anaknyapun ganteng, kalau laki-laki, dan pasti cantik, kalau perempuan.”
            “ Tapi umur anaknya berapa ya? Anaknya sekolah dimana? Kemudian, berapa sebenarnya anak Ibu Halimah itu? “
Di samping percakapan mereka itu kemudian ada satu lagi pertanyaan yang membuat hasrat ingin tahuku kembali membuncah untuk menguaknya. Lina benar, selama tiga tahun kami mengenal sosok Ibu Halimah, mengapa tidak pernah ada kabar sedikitpun tentang siapa anaknya? Berapakah umurnya? Sekolah dimana? Atau bahkan mungkin Ibu Halimah tidak mempunyai anak sama sekali karena dari dulu Ia sudah menjadi janda? Sifat kuriousitasku muncul lagi. Dan aku harus tahu jawabannya!
***
            Pada hari itu kami mulai menguntiti setiap gerak-gerik Wanita sosialita itu. Dari balik pagar rumah sebelah, kepala kami saling bersembulan hendak mengintip saat Ibu Halimah kebetulan keluar dari rumah asrinya. Seperti biasa, sudah ada sang sopir yang setia membukakan pintu mobil untuknya. Saat itu Ibu berpakaian layaknya seorang guru, dengan setelan seragam berwarna abu-abu, tas di bahu kanannya, dan sebotol air mineral yang di kepal tangan kirinya.
            “ Apa tidak apa-apa kita bolos sekolah hanya untuk berlaku seperti ini?” Indah mulai merasa tak nyaman dengan misi kami.
            “ Dengar, kita datang kesini bukan hanya untuk percuma. Tapi kita akan menguak semua rasa penasaran dihati setiap orang. Bisa terkenal, kita!” Sinta selalu semangat untuk hal-hal semacam ini.
            “ Hei, apa kalian tidak merasa heran, untuk apa Ibu Halimah menenteng sebotol air mineral? ” Justru malah itu yang aku herankan. Mataku tetap tertuju pada sosok yang kini tengah masuk kedalam mobil itu .
            “ Kenapa kamu bodoh sekali! Untuk apa lagi kalau bukan untuk minum! Kamu pikir orang semacam Ibu Halimah tidak pernah merasa haus, apa?! “ Sinta seperti biasa, selalu menyolot.
            “ Maksudku bukan itu. Tapi benar-benar tidak biasanya. Kalau hanya untuk sekedar minum, Ibu bisa membeli dimana saja. Tidak perlu menenteng botol dari rumah begitu.” Aku keukeuh merasa heran.
            “ Eh, mobilnya jalan! Ayo berangkat!...” Lina mengingatkan. Membuat kami segera bergegas, dan melupakan perseteruan tadi.
***
            Ibu Halimah nampaknya akan mengunjungi lembaga SLB-nya yang telah Ia dirikan bersamaan dengan lembaga-lembaga yang lainnya. Ya kami mafhum kalau Ibu Halimah jarang berada di sekolah, mungkin karena sekolahnya yang lainpun perlu kunjungannya juga. Namun kami baru tahu tentang Sekolah Luar Biasa yang diperuntukan bagi anak-anak autis itu. Itupun karena kami nekat membuntuti Ibu Halimah sampai sejauh ini. Beliau memang seorang wanita berjiwa besar. Statusnya sebagai jandapun tak mampu membuat titelnya sebagai wanita terhormat luntur. Jarang sekali tentunya ada seorang perempuan kaya raya, yang mau menggunakan kekayaannya itu semata-mata untuk turut mencerdaskan anak bangsa. Kalaupun memang ada, paling mereka hanya mampu memberikan sedikit sumbangan saja, itupun dengan syarat nama dermawannya harus disebutkan. Namun perempuan yang satu ini, sungguh luar biasa. Dari sekian hartanya, Ia dengan senang hati menggunakannya untuk membangun institusi-institusi pendidikan dan dua panti asuhan. Dan Ia sendiri tetap ikut andil dalam setiap kepengurusannya. Bahkan Ia dengan senangnya terjun langsung mengajar anak didik dengan cara yang sangat menawan dan enjoy untuk murid-muridnya. Inilah guru. Yang bukan hanya sekedar mengajar, tapi juga guru yang menjadi seorang pendidik.
            Kami mengendap-endap mencoba masuk mengelabui satpam sekolah. Namun akhirnya ketahuan juga.
            “ Kalian siapa? Ada keperluan apa? “ Dengan galak pak Satpam bertanya.
            “ He..he..kami murid Ibu Halimah, mau bertemu beliau, kebetulan Ibu Halimahnya sedang ada di dalam, bukan?” Sinta memberanikan diri sambil memamerkan sederetan gigi-gigi putihnya, cengengesan. Pak Satpam malah melihati kami dari atas kebawah.
            “ Kenapa tidak sekolah? “
            “ Ada hal penting yang ingin kami sampaikan pada Ibu, pak. Maka dari itu izinkan kami masuk ya pak, “ Indah memelas-melas dengan telapak tangan yang dilipat, memohon. Pak Satpam kembali berpikir,
            “ Kami mohon, Pak “ Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Pak Satpam memicingkan matanya, mungkin sedang menimang-nimang. Kami saling menyikut satu sama lain, takut tak mendapat izinnya. Namun sejurus kemudian,
            “ Ya, kalian boleh masuk” Ujarnya masih dengan nada galak.
            “ Yes, terimakasih Pak, “ Kami kegirangan.
***
            Ada perasaan ingin menangis saat kami memberanikan diri masuk kedalam. Melihat berbagai macam karakter anak yang memiliki keterbelakangan mental. Yang ini matanya hanya melongo kedepan. Yang itu bibirnya selalu terbuka. Yang satunya tak henti-henti tertawa. Berkali-kali aku beristigfar mengelus dada. Mungkin dari sekian banyak anak-anak itu, pasti ada yang usianya sebenarnya sudah sebaya dengan kami. Tapi masih harus duduk di tempat ini. Bergabung dengan anak yang usianya jauh dibandingkan dirinya. Hatiku meringis. Betapa kami tak pernah bersyukur Allah berikan kesempurnaan jiwa dan lahiriah ini. Kami tidak pernah berfikir bagaimana masa depan kami selanjutnya jika ternyata kami ditakdirkan seperti itu? Bagaimana perasaan orang tua kami? Apakah Mereka akan turut membenci dan mengolok-olok kami sebagaimana orang-orang tak beradab diluar sana? Sekali lagi aku mengusap dada, dan segera memohon ampunan-Nya.
            Langit tampak mendung dengan awan abu yang menutupi bias cahaya matahari siang itu. Kami tak membawa persiapan apapun. Kami mungkin harus pasrah jika nanti ketahuan Ibu halimah bahwa kami telah sejak lama membuntutinya.
            Dari kejauhan, Nampak sosok yang kami cari tengah menengok sebuah kelas yang sedang melaksanakan proses KBM. Bibirnya tersenyum, namun terlihat getir. Mungkin Iapun tak lepas dari perasaan mirisnya melihat rahasia Allah yang di limpahkan pada anak-anak luar biasa itu. Antara senang melihat mereka ceria, sedih lantaran menyadari keterbatasan mereka, dan getir menyelami nasib mereka. Sungguh akupun merasakan hal yang sama.
            “ Riana, lihat itu!...” Lina membuyarkan ketercenunganku. Mataku mengekor telunjuknya yang menunjuk segerombolan anak yang tengah berkelahi di tengah lapang. Hujan mulai deras mengguyur bumi. Dari kejauhan tampak para staf guru berlari hendak menghentikan perkelahian itu. Mereka sampai abai dengan seragamnya yang harus basah kuyup. Halilintar mulai menggelegar, disertai sinar-sinar pantulan kilat. Siang itu menjadi tampak menyeramkan bagi kami. Tapi aku mau tahu sebenarnya apa yang terjadi disana. Maka seketika aku turun juga kelapangan tanpa memperdulikan bajuku yang nantinyapun akan basah kuyup.
            “ Riana!...tunggu!...” Sinta dan Indah memanggil-manggilku. Namun aku abai. Akhirnya merekapun ikut turun kelapangan. Beberapa lama kemudian semua guru sudah turun, sedangkan murid-muridnya hanya menonton di koridor kelas. Ada yang malah tersenyum, tertawa-tawa, atau bahkan ada yang menangis histeris. Luar biasa runyam keadaan siang itu. Pada akhirnya Ibu Halimahpun turun tangan, dan segera menerobos kerumunan.
            “ Ya Allah, Tidaaaaak!!!...” Teriaknya.
            “ Tolong minggir semua, minggir!...” Baru kali ini kami menyaksikan amukannya. Semua orang mundur, termasuk anak-anak luar biasa yang sudah dipisahkan dari perkelahiannya itu. Namun ada satu yang tersisa di tengah-tengah. Yang Ibu Halimah sampai bersila diatas lapangan basah dan mengangkat kepala anak itu kepangkuannya.
            “ De, bangun De…” Ibu Halimah menampar-nampar pipi anak itu. Mimik Bu Halimah luar biasa keakutan, entah mengapa. Mungkin takut anak itu benar-benar tak sadarkan diri. Semua guru semakin merasa was-was. Beberapa mengusap air hujan dari wajahnya. Beberapa lagi memegangi anak-anak yang lain. Dan kamipun mulai ikut was-was. Namun  yang paling mengejutkan adalah,
            “ De, Dede…anakku,…bangun, Nak…bangun,…”
            Ketahuilah, yang kami perkirakan bahwa jikalau Ibu halimah memiliki anak laki-laki pasti wajahnya rupawan, otaknya cerdas, budi pekertinya tinggi. Ternyata siang yang dingin itu, telah membuka gerbang rahasia yang selama ini telah tertutup rapat itu. Dia, yang badannya gempal, pipinya telah biru-biru karena ditonjoki teman-temannya yang lain, lalu wajahnya yang sudah mulai memucat lantaran terlalu lama terguyur hujan, yang saat itu tengah berada dipangkuan Ibu Halimah itu adalah anaknya! Bukan siapa-siapa, dia adalah anak kandung Ibu Halimah. Anak yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa itu adalah anak seorang perempuan berintelektual dan berbudi tinggi bernama Ibu Halimah! Rasanya setiap titik hujan yang menghinggapi badan ini adalah titik-titik paku yang silih berganti menghujami tubuh ini dengan tajamnya. Kami semua tercengang. Dan kau tahu, botol air mineral yang di tenteng Ibu itu khusus diperuntukan buat anak tercintanya itu.
            “ Dede!!....Dede bangun, nak…hiks, hiks, jangan tinggalkan Bunda…” Dengan suara yang hampir tercekat, Ibu halimah meronta-ronta mendapati anaknya sudah tak sadarkan diri. Tangisnya meraung-raung memecah suara guyuran hujan. Anaknya telah tiada. Dan tak ada lagi yang tersisa.
            Sekarang kami tahu kenapa Ia senang sekali mendirikan lembaga pendidikan. Itu adalah bentuk pelampiasannya terhadap seorang anak. Ia mungkin merasa mendapat kesenangan batin saat bisa mengajar dan bertemu dengan anak-anak yang normal pada umumnya. Dan kenapa setiap senin Ia tak pernah ada di Sekolah, karena Ia harus berada di Sekolah Luar biasa ini.
            Ibu halimah dengan takdir pahit yang harus diterimanya. Kehilangan suami, kehilangan anak, dan kehilangan kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun Ia tak kehilangan akhlak mulianya, luhur budinya. Ibu Halimah dengan kepahitan dan kesedihannya itu, laksana daun yang gugur namun tetap lihai menari bersama angin seiring jatuhnya kebumi. Aku menyimpan kisah ini dalam benakku, dalam-dalam, dan sekalipun tak akan pernah terlupa. 
Taman Ilmu
25 Desember 2010
09.52

0 comments:

Posting Komentar