Tarikh 22

By, Lena Sa'yati



22 Oktober 1945
Sosok kyai berparas teduh  memulai pembicaraan di atas meja bundar, yang dikelilingi puluhan kyai sepuh dari berbagai pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Atmosfer ruang rapat itu begitu sakral namun khidmat. Seluruh pasang mata hanya tertuju pada satu orang, yang bibirnya bergetar mengumandangkan takbir berkali-kali dengan nada tinggi. Setiap kata yang ia ucapkan bagai api yang gusar hendak menyulut benda-benda kering di sekelilingnya, membuat bulu kuduk yang lainnya merinding dan seakan larut dalam hipnotis kata-kata sang kyai besar itu.
“Kita gerakan seluruh santri! Kita bahu-membahu mengawal tentara, hidup atau mati, negara ini haruslah merdeka!” serunya lantang.
“Allohu Akbar! Allohu Akbar!”
Sahutan takbir bersatu seirama menggema menyesaki udara. Semuanya bangkit dan tak henti bertakbir sambil mengepalkan tangan kanan dan mengacung-acungkannya ke udara dengan serentak. Pemandangan ini pula menjadi akhir pertemuan penting para pembesar pesantren di kota pahlawan. Namun setelahnya, adalah babak baru roda kehidupan Indonesia. 
Bersejarah, tentu hari itu akan menjadi sejarah.

***
            22 Oktober 2015
            Ribuan kaum bersarung serta berkopiah menyesaki masjid terbesar se-Asia Tenggara, Istiqlal Jakarta. Latar belakang pesantren mereka berbeda-beda, namun semua bersatu dalam satu nama; SANTRI.
            Di masjid bagian dalam, seluruh orang yang hadir tampak duduk bersila sesuai shaf shalat, sedang di lantai 2 karena takut melewatkan acara penting, mereka memilih berdiri sambil berpegangan pada pagar agar bisa menonton kegiatan berlangsung di bawah. Mereka sungguh antusias.
            Sedang di barisan paling depan, kau tampak melamun, padahal MC telah memulai acara dan menyampaikan basa-basinya. Rupanya, hari itu masih saja terekam di benakmu, hari pertama kau menginjakan kaki di dunia yang baru.

***
                        22 Juli 1980
                        Jumlah santri dan santriwati yang mencapai 3.000 orang dikerahkan ke lapangan utama untuk mengikuti upacara pekan perkenalan santri bersama dewan pimpinan pesantren dan para asatidz. Seluruh santri berpakaian seragam, santri putra mengenakan atasan putih, berpeci hitam, dan celana hitam. Sedangkan putri mengenakan gamis berwarna hijau toska tua, dan berkerudung hijau toska muda. Saat para pengurus berhasil membariskan mereka, dari atas, pemandangan itu tampak begitu rapi dan menyejukan mata.
                        Telah hadir pada pagi hari itu, pimpinan pesantren yang wibawa dan kharismanya sangat disegani santri. Bukan karena galak, bukan karena otoriter, atau bahkan gila kekuasaan. Tapi karena setiap kata yang diucapkannya selalu mengandung makna filosofis yang dalam, setiap gerak geriknya menunjukan tauladan yang mulia. Setiap keputusan dan kebijakannya, menjadi pedoman pesantren dalam membina para santrinya.
                        Beliau tengah duduk di atas podium yang disimpan di lantai 3 gedung Riyadlul Badi’ah, hal ini dimaksudkan agar beliau dapat melihat seluruh santri dari ketinggian.
                        Sedang dirimu, berada di posisi terdepan dengan wajah yang layu. Di matamu, terdapat adegan pahit yang masih saja kau pikirkan. Impianmu melanjutkan SMA di sekolah negeri harus kandas saat ayahmu lebih memilih pesantren sebagai tempat tinggalmu. Setiap kali bayangan pertengkaran itu muncul di ingatanmu, saat itu pula matamu terpejam lama dengan kuat, berharap memori itu segera enyah dari kepala.
                        Tapi siapa yang tahu, Allah adalah Maha Pembolak-balik hati. Hati yang keras, bisa dengan mudah Ia lembutkan. Sebaliknya, jika Ia telah murka, hati yang telah lembut, namun membuat dosa yang begitu keji, seketika hatinya ia keraskan hingga tak dapat menggapai kekhusyuan beribadah pada-Nya lagi. Jika sudah begitu, waktu yang tersisa hanyalah gumpalan-gumpalan dosa yang semakin menyeret manusia ke lubang neraka.
                        “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Kyai Adra’i membuka sambutan yang langsung mendapat sahutan dari para santri.
                        “Nak, siapa yang masih belum ikhlas mesantren, coba angkat tangan!” pintanya. Namun kalimat beliau hanya menuai keheningan. Tentu tak akan ada yang berani.
                        “Saya harap, jika masih ada yang belum ikhlas mesantren, sebaiknya perbaiki dulu hatinya, perbaharui dulu niatnya, pertajam dulu imannya!” beliau membetulkan letak kacamatanya.
                        “Pesantren hanya untuk orang yang mau berjuang. Berjuang memberantas kebodohan dari muka bumi. Berjuang hidup mandiri jauh dari keluarga. Berjuang membangun muslim dan bangsa yang bermoral, berakidah, berpendidikan, dan berkualitas. Pesantren bukan untuk orang yang cengeng! Bukan untuk orang yang manja, yang mencintai hidup hedonisme yang jauuuuuh dari nilai-nilai luhur Islam.” Nafasnya terengah saking terlalu semangat. “Jadi saya tekankan kembali, yang hatinya masih belum ikhlas di pesantren, silahkan perbaharui lagi niatnya!”
                        Kalimat sang kyai menghentak lamunanmu yang melankolis itu. Ya, hatimu masih belum luruh untuk mesantren.
                        “Nak, hidup itu adalah pilihan. Sekarang pilih, muda belajar seenaknya, bahkan lebih banyak mainnya, lulus kerja sembarangan, tak menghiraukan yang baik atau buruk untuk akhirat, dan mati entah seperti apa. Negara hanya disesaki sampah jika karakter bangsanya begitu…
                        Lain lagi kalau masih muda fokus belajar, belajar ilmu yang fardu ain dan fardu kifayah dengan sungguh-sungguh, ibadah dengan benar, lulus cari kerja yang bisa merubah keadaan bangsa dan Negara, mati dikenang selamanya.”
                        “Pilih! Ayo pilih mau yang mana?!” hentak sang kyai.
                        Lagi-lagi kalimat itu menyindirmu yang masih memandang pesantren sebelah mata. Dan perlahan, pintu di hatimu mengeluarkan bunyi ‘krekett’ membuatnya terbuka meski secercah.
Bersejarah, tentu hari itu akan menjadi sejarah.

***
            22 Oktober 1980
            Setiap malam santri bergantian mengaji surat Yasin di kediaman pak kyai. Biasanya, santri berjumlah 20 orang atau lebih setiap malamnya, mereka akan duduk bersila di atas karpet sambil membuat lingkaran. Mereka membaca al-quran dengan nada yang sama secara berjama’ah sehingga terdengar syahdu dan merdu. Para khodimah bu nyai akan menyuguhi mereka selepas ngaji dengan berbagai cemilan dan minuman, tanda terimakasih.
            Namun kau selalu berpikir, kapan semua kejanggalan ini akan berakhir, maksudmu berakhir bahagia. Saat pak kyai keluar dari kamarnya tanpa harus lagi mengenakan kursi roda atau bahkan terbaring seharian di ranjangnya. Sungguh sedih hatimu saat itu. Kau haus sekali nasihat dan petuah beliau.
            Terakhir, pak kyai didatangi sekelompok orang dari partai politik yang menawarinya untuk menjadi calon kepala daerah. Tapi dengan tegas pak kyai menolaknya. Baginya, jika kyai sudah berpartai, maka pesantrennya tidak akan bertahan lama. Ia hanya lurus pada tujuannya, mengajar dan membina kaum muslimin sebaik-baiknya. Sungguh mulia, pikirmu.
            Selepasnya, beliau menasihati santrinya untuk menjadi pemimpin yang amanah jika terpilih. Beliau sangat ingin jika santri-santrinya bisa menjadi orang-orang terpandang di negeri ini. Namun satu yang ia tekankan, jangan lupakan ilmu yang telah dituai di pesantren. Syukur-syukur mengaplikasikannya di kehidupan mendatang.
            Bu nyai kemudian meminta sebagian santri untuk membopong kyai ke wc, beliau ingin berwudhu layaknya orang normal. Dan kau memberanikan diri untuk membantu. Kau menunaikan tugas itu. Dan kembali membaringkan beliau di tempat tidur. Kau, dimintanya memakaikan beliau pakaian bagus lengkap dengan peci dan sarung untuk melaksanakan shalat isya. Lalu kau dipersilahkan keluar.
            Sesaat kau duduk bersama yang lain, teriakan bu nyai mengagetkanmu. 
Bersejarah, tentu hari itu akan menjadi sejarah.
***
22 Oktober 2015
            Lamunanmu buyar saat MC mempersilahkanmu maju. Meski sempat terperanjat, namun cepat-cepat kau membetulkan diri dan bangkit dari duduk sambil melambaikan tangan pada seluruh orang yang hadir. Lalu kakimu melangkah dengan gagah menuju podium.
            Kau mengucap salam dan memberikan muqoddimah dengan logat arab yang kental, memperaktikan secuil kemampuanmu saat mesantren di Al-Azhar University.
            “22 Oktober adalah hari yang bersejarah bagi negara kita, di mana resolusi jihad menjadi peletak dasar kemerdekaan Indonesia yang sepertinya terkadang luput dari  perhatian masyarakat atau dari pemerhati sejarah sekalipun. Padahal jika kita telisik lebih dalam, kaum santri dan para kyai pada masa itu rela mewakafkan dirinya untuk berjuang meraih kemerdekaan Indonesia.
Maka saya kira sudah sepatutnya kita mengenang jasa-jasa mereka dengan memperingati hari santri yang in sya Allah akan diresmikan mulai hari ini.”
“Allohu Akbar!” sahutan para audiens mengudara menyahut perkataanmu. Dan dengan bangga, seulas senyum tergaris di bibirmu.
“Dengan bismillahirrahmanirrahiim, hari santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober ini saya resmikan!”
            Sebelum hari ini, berbagai komentar positif mau pun negatif sempat mengganggu hari-harimu. Mereka bilang, kalau kau membeda-bedakan pelajar. Kau lebih menspesialkan santri dari pada pelajar umum. Mereka bilang lantaran kau sendiri adalah santri dulunya. Namun dengan tegas kau menghimbau, bahwa tidak ada maksud membeda-bedakan, peringatan hari santri sama halnya seperti peringatan hari pahlawan pada tanggal 10 November.
            Nyatanya, Allah telah membalikan hati kerasmu yang dulu. Dan kau amat bersyukur karenanya. Kau ingat pepatah kyai yang berharap bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang baik, berakidah, berpendidikan, bijak dan jujur. Meski terkadang kau merendah, tapi kau telah mewujudkan angannya. Kini, betapa bangga ayahmu dan pak kyai padamu.
            Samar-samar, masih di podium, saat mengakhiri sambutan, matamu menangkap sosok putih di tengah kerumunan. Wajah teduhnya mengulas senyum hangat dan mengganguk padamu. Kau kedipkan beberapa kali matamu, untuk memastikan itu nyata. Namun berikutnya, tak lagi kau dapati sosok itu.
            “Pak kyai, apakah kau itu?” gumamu dalam hati.
                        Meski guratan isyarat yang tampak tak nyata itu menghilang, namun senyum hangat orang paling berpengaruh dalam hidupmu tetap kau ingat. Jika boleh, kau ingin sekali lagi berjumpa secara dekat. Kau ingin memeluknya, mengecup tangannya seperti dulu, dan mengucapkan terimakasihmu yang dulu tak sempat kau utarakan.
Bersejarah, tentu hari itu akan menjadi sejarah.[]

1 comments: