MENILIK SEMUA PERAN DALAM UJIAN NASIONAL (UN)


Oleh: Lena Sa’yati, STPT Condong Tasikmalaya


Bulan April ternyata menjadi bulan yang cukup menegangkan bagi sebagian masyarakat kita. Mereka adalah golongan pelajar kelas tiga SMP maupun SMA dan sederajatnya. Puncak dari hasil belajar mereka berdasarkan peraturan pemerintah, jatuh pada bulan April ini, yakni dengan diselenggarakannya Ujian Nasional (UN) yang kerap mengundang kontroversi dari berbagai kalangan. Sejak kebijakan tersebut digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 UN menjadi sebuah kebijakan yang kian mewarnai dunia pendidikan di negri ini. Terang saja, karena dalam ilmu kependidikan,  kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.  Maka hal ini menjadi salah satu faktor mengapa UN seringkali mendapat tanggapan kontra dari masyarakat. Bukan hanya itu, jika ditinjau berdasarkan substansial UN yang tiap sekolah baik yang berlokasi di perkotaan maupun dipelosok disamaratakan, tentu ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin sekolah yang dipelosok dengan fasilitas yang sangat minim juga tenaga staff pengajar yang kurang memadai, anak didiknya harus mengahadapi soal yang sama dengan siswa lain di sekolah perkotaan yang fasilitasnya sangat mendukung ditunjang staff pengajar yang juga berkualitas. Dalam mata pelajaran bahasa inggris, misalnya, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Lantas bagaimana dengan nasib mereka yang berada di pelosok sana?. Apakah mungkin pepatah ‘Don’t judge a book by it’s cover’ masih dapat berperan dalam situasi seperti ini. Justru malah akan menimbulkan kecurigaan bila ternyata nilai UN peserta didik di sekolah pelosok lebih besar di banding mereka yang sekolah di perkotaan. Mungkin kita tak sepenuhnya harus menyalahkan pemerintah lantaran beberapa kasus tersebut, namun sepantasnyalah setelah ditemukan berbagai macam kekurangan dan ketidakberesan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah kembali mengambil tindakan yang tegas. Jikalau anak kelas 3 SMP atau SMA ditanya, kebanyakan dari mereka sangat menginginkan UN dihapus saja. Namun kita belum tahu apakah pemerintahpun sejalan dengan pendapat tersebut.
                    Yang menjadi sasaran kontroversial UN itu tentulah para peserta didik yang jika ditinjau dari aspek sosial dan psikologis ternyata mereka ini sangatlah merasa tertekan. Termasuk saya sendiripun pernah merasakan hal yang sama. Bayangkan saja, sekian lama mereka belajar mati-matian, ditopang dengan adanya berbagai pengayaan, demi memperjuangkan standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005, hingga 5,5 untuk tahun 2010/2011. Seakan angka-angka itu menjadi momok menyeramkan yang kian menghantui disetiap mereka memandang barisan soal dihadapannya. Selain harus memiliki persiapan mental dan kemampuan belajar yang baik, ternyata merekapun harus berhati-hati tatkala membulati jawaban. Karena seringkali terjadi, meskipun jawabannya benar, namun lantaran tidak membulati jawabannya dengan benar, maka jawaban itupun tetap salah (disini mesin yang berperan). Dari situ, munculah berbagai macam kacurangan yang tak henti-henti setiap tahunnya. Semisal guru yang mengobral soal-soal UN, guru yang membetul-betulkan jawaban murid, mencuri lembar jawaban UN, sampai bekerjasama dengan pengawas ujianpun sudah sangat tak asing lagi ditampilkan media masa terutama media TV. Imbasnya kembali pada murid-murid, para guru, dan juga lembaga sekolah. Sehingga, tak sedikit kasus tragis semisal bunuh diri lantaran tak lulus UN pun terjadi. Ini tak bisa dianggap remeh. Karena tidak semua mental peserta didik itu sama. Mungkin bagi mereka yang bersifat easy going ya akan bersikap biasa saja tatkala mengetahui dirinya tidak lulus. Namun tidak demikian bagi mereka yang memiliki mental yang mudah menciut jika mendengar sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Hasilnya, ya kasus bunuh diri itu. Maka, pantas sekali bila mereka seringkali meneriakan “ Aku ingin cepat-cepat UN”. Bukan karena ingin cepat-cepat bergelut dengan deretan soal, namun karena ingin cepat-cepat melewatinya. Pernyataan seperti ini tak lain karena mereka memiliki motivasi ingin melanjutkan jenjang pendidikan. SMP ke SMA, dan SMA ke Perguruan Tinggi. Bagi mereka yang berambisi ingin tembus Perguruan Tinggi Negri (PTN), maka harus berjuang keras untuk mendapat nilai sebaik-baiknya. Dan bila itu tak terjadi, maka mereka harus kembali melakukan ujian susulan. Inilah yang kian menambah tekanan batin para peserta UN.
            UN rupanya telah membuat semua orang geger dan lupa segalanya. UN seringkali menjadi isu terhangat tiap pergantian tahun pendidikan. Bagaimana tidak, kerja keras peserta didik selama tiga bulan pada akhirnya harus berterima pasrah hanya dalam tiga hari untuk SMP, dan enam hari untuk SMA. Jika saja UN bukan patokan untuk bisa melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, mungkin semua kecurangan, kasus-kasus, serta konfrontasi antara masyarakat dan pemerintahpun tidak akan semenghawatirkan seperti sekarang ini. Kendati demikian, UN sebenarnya tetap bisa berjalan dengan baik tanpa hal-hal yang menghawatirkan tersebut. Meski standar nilai UN tidak cukup bagus, yang terpenting adalah proses mengahadapinya yang harus dilakukan sebaik mungkin. Dengan belajar sungguh-sungguh, tidak melakukan kecurangan, dan banyak berdo’a demi kelancaran saat menghadapinya. Hal ini yang lebih dinilai plus dalam dunia pendidikan yang sesungguhnya. Tidak berarti apa-apa jika nilai itu tinggi tapi dari hasil yang sangat rendah dan hina. Disinilah diperlukan sosok guru yang memiliki ruh guru yang jujur dan berkualitas dalam mendidik murid-muridnya. Sehingga, citra guru sebagai seorang pendidik yang mulia akan terangkat, pun citra murid sebagai peserta didik yang berkewajiban untuk tholabul ‘ilmi akan teraplikasi dengan baik. Dengan begitu, seberat dan sesulit apapun setiap kebijakan yang digulirkan pemerintah dalam dunia pendidikan semisal UN inipun akan menggapai hasil yang baik dengan jalan yang baik pula.
Terakhir, saya ucapkan Selamat dan sukses untuk siswa kelas IX dan kelas XII dalam menghadapi Ujian Nasional tahun ini. Semoga berjalan lancar, amin.

0 comments:

Posting Komentar