“NGABUBURIT” MENGANTARKAN SAYA MENUJU
GERBANG NASIONAL
Oleh Lena Sa’yati
Masih teringat betapa bersyukurnya saya saat berhasil
menyabet juara satu dalam Musabaqah Tilawatil Quran cabang Musabaqah Makalah
Ilmiah Al-Quran (M2IQ) tingkat Provinsi di Karawang kemarin April. Itu berarti
untuk pertama kalinya saya akan menjadi wakil Jawa Barat dalam MTQ nasional di
Ambon. Hal ini bukan hanya menjadi kabar gembira untuk saya pribadi saja,
ternyata orang-orang di sekitar pun serta merta merasa bangga dan sangat
mengapresiasi prestasi yang saya kira masih terbilang kecil tersebut. Banyak
yang mengucapkan selamat, ada yang memberikan apresiasi dalam beragam bentuk,
seperti menyediakan fasilitas untuk pengembangan potensi yang saya miliki,
kepercayaan menjadi pimpinan redaksi media cetak, dan lain-lain.
Sudah barang
tentu bagi saya untuk kembali mempersembahkan yang terbaik dalam kompetisi
selanjutnya. Ketika orang bertanya apa kiat-kiat menjadi juara, saya hanya
menjawab dengan sederhana, yaitu dengan melakukan tiga B; Berusaha, Berdoa, dan
Ber-tawakkal. Mungkin bagi sebagian orang, tiga hal pokok tersebut terdengar
basi, biasa saja, sama sekali nothing special. Tapi berbeda halnya bagi
orang yang benar-benar meyakini kekuatan dari tiga B tersebut. Seperti halnya
yang saya rasakan, sebenarnya masih banyak orang yang lebih layak menjadi
pemenang terutama dari segi potensi, tapi atas kuasa Allah apapun bisa terjadi.
Seperti yang
seringkali saya lakukan, sudah menjadi kebiasaan, setiap menghadapi berbagai
even, saya selalu mengumpulkan pundi-pundi doa dari siapa saja yang saya kenal.
Selain itu, saya pun selalu mengepal erat-erat kedua tangan dengan menutup
kedua kelopak mata sambil menuturkan doa “laa haula walaa quwwata illa
billah”. Dalam hati saya meyakini bahwa segala potensi dan kekuatan yang
saya miliki tidak ada apa-apanya tanpa pertolongan dari Allah. Meski hanya
dengan doa yang sederhana, namun hal itulah yang justru mampu mengetuk
pintu-Nya melebihi segala usaha dan ikhtiar kita.
Hal ini
kembali saya rasakan ketika pada akhirnya pertolongan Allah kembali muncul di
depan mata. Atas kuasa-Nya saya berhasil menyabet peringkat dua di tingkat
nasional. Sungguh nikmat yang tidak terbandingkan. Segala usaha telah
dikerahkan, doa senantiasa saya panjatkan, serta berserah dan bertawakkal atas
hasilnya, dan ternyata balasan dari-Nya begitu indah.
bersama Gubernur JABAR (Ahmad Heryawan, Lc.) |
Terdapat
pelajaran menarik ketika saya mengikuti Musabaqah Makalah ilmiah Al-Quran tahun
ini. Yaitu ketika dewan hakim memberi tema makalah tentang Islam Nusantara, setiap
peserta berlomba-lomba mencari bahan materi dari kebudayaan khas masing-masing
daerah yang terdapat kandungan nilai-nilai Islam di dalamnya. Saya sendiri
mengangkat tradisi “ngabuburit” untuk bahan makalah saya. Selain berasal dari
sunda, tradisi ini juga telah dikenal luas dan hanya ada di Indonesia.
Seperti yang
kita ketahui, tradisi “ngabuburit” sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat
Indonesia. Namun yang menjadi alasan mengapa saya berani mengangkat tradisi ini
menjadi bahan makalah adalah karena tradisi ini terlahir berkat akulturasi
budaya Sunda dan Islam. Kita tahu “ngabuburit” hanya ada pada saat bulan puasa
Ramadhan. Namun yang terjadi dewasa ini, kebanyakan kaum muda mengisi momen
ngabuburit dengan hal-hal negatif yang justru dapat merusak kesempurnaan ibadah
puasa.
Hal inilah yang kemudian menjadi
bahan kajian saya. Dengan mengumpulkan berbagai sumber literatur maupun
mewawancarai beberapa narasumber, Alhamdulillah akhirnya saya mantap membuat
makalah tentang tradisi “ngabuburit” untuk kemudian di presentasikan di depan
dewan hakim. Beberapa dewan hakim mengapresiasi makalah ini, dan atas kuasa
Allah, tema ini juga yang mengantarkan saya menduduki pringkat kedua.
Menurut saya, tradisi “ngabuburit”
yang kini mengalami perluasan cakupan identitas semestinya ditelaah ulang makna
positifnya untuk menghindari beberapa kekhawatiran dalam menjalani ibadah
puasa. Rasulullah SAW telah mewanti-wanti agar kita tidak termasuk golongan
orang yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga sewaktu berpuasa karena
mengabaikan beberapa rambu-rambu larangan selama berpuasa. Kini, ketika kita
menyaksikan orang-orang lebih senang menghabiskan ngabuburit dengan menggelar
konser dan larut dalam euforia sehingga lalai akan perintah-perintah Allah,
tentu menjadi problematika yang cukup serius selama bulan suci Ramadhan. Pada
akhirnya, nilai-nilai agung puasa akan terdistorsi dan semakin kabur.
Surat Al-‘Ashr telah mengingatkan
kita untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya agar tidak termasuk golongan orang
yang merugi. Begitu pun dengan surat Al-Baqarah: 183 yang berpesan agar puasa
dapat dijadikan momentum membentuk pribadi yang bertakwa. Hal ini tentu
semestinya tergambar pula dalam tradisi “ngabuburit”. Tradisi “Ngabuburit” akan
bernilai positif jika diisi dengan hal-hal baik. Seperti halnya yang seringkali
ditanamkan lembaga pesantren misalnya. Pesantren yang saya tinggali seringkali
memadatkan kegiatan di sore hari menjelang berbuka puasa dengan aktifitas
religiusitas yang kental. Seperti menambah jadwal mengaji kitab kuning,
bertadarus, dan sebagainya.
Hal ini semata-mata
dalam upaya meningkatkan kualitas diri untuk menjadi muslim yang bertakwa.
Takwa dalam pandangan Hasan bin Thalq seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir
dalam Tafsir Al-Quranul- ‘Azhim bisa dilihat dari amaliah sehari-hari.
Ia menyebutkan bahwa takwa hendaklah engkau (sebanyak mungkin) melakukan
amal-amal ketaatan dengan cahaya dari Allah semata-mata mengharapkan
pahala-Nya. Juga engkau mampu meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dengan
petunjuk dari Allah SWT karena takut akan azab-Nya. Maka dari itu, puasa juga
dengan tradisi “ngabuburit”-nya adalah saat yang tepat untuk mengasah
senitivitas keimanan kita menuju pribadi yang bertakwa dengan memperbanyak
aktivitas amal ibadah dan amal saleh. Semoga kita termasuk kedalamnya. Amin.
Warm Regards,
Lena Sa'yati |
0 comments:
Posting Komentar