Oleh: Lena Sa’yati
Pengantar
Pahit untuk ditelan menghadapi kenyataan bahwa kini Indonesia menjadi salah satu Negara terkorup di dunia. Rasa malu semakin bercokol dalam hati tatkala melihat tak henti-hentinya media meluncurkan berita yang sama dari waktu ke waktu namun dengan aktor yang berbeda-beda. Mereka ini adalah orang-orang terdidik, dengan gelar yang sedemikian berderet di ujung namanya, dan awalnya dikenal begitu alim santun dan terpercaya. Namun yang kemudian menjadi ironis, ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa departemen agama menjadi salah satu lembaga paling terkorup di negeri ini. Atau ketika seorang Kyai yang aktif dalam pemerintahan digiring polisi menuju jeruji besi lantaran kasus memalukan yang dilakoninya yakni korupsi. Ini baru yang terekam kamera, lain lagi dengan gerombolan tikus yang semakin merajalela di saban daerah di Indoenesia.
Korupsi menjadi situasi paling fenomenal yang amat transparan di negeri ini. Tidak lagi kalangan elit pemerintahan atas yang menjadi aktor para pelaku korupsi, tapi kini korupsi bahkan telah menyentuh hamper seluruh lapisan masyarakat bawah. Setiap hari kolom berita dihiasi berbagai modus korupsi dan suap-menyuap yang melibatkan para pengambil kebijakan publik-politik baik di pusat maupun di daerah. Korupsi dan suap-menyuap mengalami proses banalitas, menjadi kebiasaan yang dimaklumi (permisif) dan seakan-akan tidak dianggap salah dan dosa besar. Padahal Allah SWT berfirman:
وَلاَتَأْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا اِلَى الحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”( Al-Baqarah:188)
Jelas sekali dalam ayat tersebut bahwa Allah menegaskan kepada kita agar tidak melakukan tindakan korupsi. Dan ayat ini patutlah bagi kita sebagai umat islam untuk menjadikannya sebagai landasan membasmi para tikus berdasi. Semua umat Islam tahu akan hal ini. Namun kendati demikian, akan berbeda bila halnya seseorang tengah dihadapkan pada kelonggaran sehingga memancing hawa nafsu untuk berindak sesuatu yang dilarang agama. Maka, disinilah letak penting agama untuk membentengi akidah kita.
Korupsi Menyebabkan Frustasi
Seperti halnya tikus, sulit menangkapnya dan selalu membuat kita berang apalagi untuk para petani yang berhektar-hektar sawahnya digerogoti segerombolan hewan tak tahu diri ini. Namun lain tikus, lain Gayus. Manusia dikaruniai akal dan hati. Sedangkan tikus tidak. Tikus hanya mengambil makanan, manusia lebih serakah lagi. Ya makan, ya uang. Benar-benar membuat frustasi bangsa Indonesia para tikus berakal dan berhati ini. Dengan beragam modus seperti suap menyuap (ar-risywah), pungutan liar (al-ghasbu), mark up (al-ghurur) dan pembobolan bank dan penggelapan uang Negara (al-ghulul), para pelaku korupsi ini tanpa disadari begitu banyak merugikan segala aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Seringkali bangsa ini mengaduh, terhambatnya berbagai pembangunan, sarana dan prasarana yang merupakan fasilitas rakyat yang penting tidak dapat dinikmati bahkan belum dapat diwujudkan dengan baik, kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak rakyat belum dapat diwujudkan dengan baik, begitu juga dengan pendidikan yang belum bisa dinikmati secara merata oleh anak Indonesia, dan akses kesehatan murah berkualitas belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Semua ini akibat dari terlalu mengguritanya aksi korupsi disetiap lapisan pemerintahan.
Korupsi benar-benar melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. The cost of corruption is poverty, human suffering and under development (dampak korupsi adalah kemiskinan, penderitaan, dan terhambatnya pembanguan. Semua pihak harus membayarnya) (Agnes Aristiarini, 2011:25). Maka, tindak korupsi ini harus dibabat habis sampai ke akar-akarnya. Semua elemen bekerja pada tugasnya masing-masing (kullun ya’mal ‘ala syakilatihi) untuk bersama-sama memberantas korupsi. Hal ini memang akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin.
Data dan Fakta Angkat Bicara
Sudah banyak lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebut saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang kian eksis menyuarakan gagasan dan tindakan nyata terhadap misi tersebut. Namun banyaknya lembaga anti korupsi tetap saja tak sebanyak para pelaku korupsi itu sendiri. Berdasarkan hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2010 semester I ini, korupsi justru terus mengalami peningkatan. Selama periode 1 Januari - 30 Juni 2010 ditemukan 176 kasus korupsi yang terjadi di level pusat maupun daerah. Tingkat kerugian negaranya pun mencapai Rp2,102 triliun.
Untuk perbandingan, tahun 2009 semester I sebanyak 86 kasus dengan tingkat kerugian negara mencapai Rp1,7 triliun.
Untuk perbandingan, tahun 2009 semester I sebanyak 86 kasus dengan tingkat kerugian negara mencapai Rp1,7 triliun.
Jumlah pelaku korupsi yang telah ditetapkan sebagai tersangka di semester I tahun ini sebanyak 441 orang. Sedangkan tahun lalu sebanyak 217 orang sudah menyandang status tersangka. Pelaku korupsi yang menempati peringkat tertinggi diduduki oleh swasta dengan latar belakang komisaris maupun direktur perusahaan sebanyak 61 orang.
Empat pelaku tertinggi lainnya yakni, kepala bagian (56 orang), anggota DPRD (52 orang), karyawan atau staf di pemerintah kabupaten/kota (35 orang) dan kepala dinas sebanyak 33 orang. Jika dibanding tahun 2009 semester I, menunjukkan ada pergeseran pelaku korupsi dengan peringkat pertama anggota DPR/DPRD (63 orang).
Melihat sejarah, pada saat mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Dan kini, salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dan sampai saat ini, dari data yang terekam di atas, menunjukan bahwa tindak korupsi belum menunjukan kemunduran yang signifikan, melainkan peningkatan yang kian tajam.
Terapi Membasmi Penyakit Hati Tikus Berdasi
Beribu cara dan strategi disusun untuk mencapai tujuan yang sama; memberantas korupsi. Di lain sisi, berjuta strategi pula disusun para pelaku koruptor agar lulus dari jerat peradilan. Para pelaku korupsi seakan telah memanage semuanya dengan begitu rapi, terlebih karena mereka memliki supporting system yang sedemikian hebat. Bahkan hukumpun bisa diakali, dengan mengusung konsep solidaritas sesama tikus. Suap saja hakimnya. Begitu juga bagi pelaku yang telah tertangkap, suap saja polisinya, remisi akan lebih mudah didapatkan. Hal inilah mengapa korupsi bisa menjadi extra ordinary chrime di manapun. Hal ini pula yang kian menantang para aktivis pemberantasan korupsi agar mampu membasmi kasus ini dengan lebih canggih lagi. Pendidikan ‘anti’ korupsi, pembuktian five in one, peniadaan remisi bagi koruptor dan segala macamnya adalah segelintir cara untuk menguak tuntas kasus korupsi ini.
Terlepas dari berbagai cara dan strategi yang jumlahnya sudah banyak ini, saya rasa akan lebih mantap lagi bila halnya pemerintahan kita melakukan langkah pencegahan (preventif) bukan melulu mengambil langkah represif (pemberantasan/pengobatan) dalam memberantas korupsi. Dengan mengacu pada surah Al-Baqarah ayat 188 pada awal tulisan, semestinya yang harus kita galakan adalah kembali pada pembentengan akidah. Para koruptor adalah segolongan makhluk yang dikaruniai hati oleh Sang Pencipta. Dengan langkah preventif, diharapkan mampu melunakan hati-hati yang tengah mengeras itu. Karena kita tidak akan mau menjadi bagian dari makhluk yang kelak berjejalan di neraka jahannam. “dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah)” (QS. Al-A’raf: 179)
Praktek korupsi terjadi karena adanya motif pelaku. Beberapa motif di bawah ini biasanya mendasari para pelakunya, antara lain:
a. Keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya (materialisme)
b. Keinginan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya (konsumerisme)
c. Takut terhadap kemiskinan
d. Ingin cepat kaya dalam waktu cepat.
Motif-motif itu timbul karena pelaku tidak bisa memanajemen gejolak jiwa yang ada padanya. Kondisi-kondisi jiwa di bawah ini ditengarai menjadi katalisator praktek korusi, antara lain:
a. Mengikuti nafsu keserakahan (tamak) terhadap harta
b. Mendewaan kehidupan dunia (hedonis)
c. Panjang angan-angan
d. Lalai dari pengawasan Sang Pencipta (ghaflah)
e. Hilangnya sifat jujur dan malu pada pelakunya.
Beberapa motif yang mendasari para koruptor sebetulnya dapat “direm” apabila pelaku bisa memanajemen diri dan mempunyai terapi bagaimana mengendalikan jiwanya yang condong terhadap korupsi. Di dalam Islam kondisi jiwa yang condong kepada kemaksiatan (korupsi) disebut sebagai hati yang sakit.
Mari kita sadari, melihat institusi pemerintahan, selalu yang tampak adalah kesemerawutan, penuh dengan sengketa, panas, dan sebagainya. Yang diinginkan bangsa ini adalah keseriusan para wakil rakyat dalam membangun negeri dan bangsanya ke arah yang lebih baik. Bukan malah ribut dengan konflik intern-nya. Rindu rasanya melihat jiwa agamis yang ditampilakan pemerintah. Inginnya melihat para pejabat mengagendakan pengajian rutin untuk mengisi kekosongan hati, memberi kesejukan pada kering kerontangnya hati, berdzikir bersama, bermuhasabah bersama, berjama’ah, damai dalam kebersamaan. Sungguh indah. Dengan begitu kedua urusan, baik duniawi maupun ukhrawi menjadi seimbang.
Biarkan mereka para pelaku korupsi menyadari apa yang diperbuatnya akan memberikan feed back yang merugikan dirinya. Sabda Rasululah “setiap daging yang tumbuh dari mengkonsumsi yang haram (as-shut), maka neraka lebih baik baginya”. Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apa itu as-shut?” Rasululah menjawab, “suap menyuap di dalam hukum”.
Berikan pada mereka para pelaku korupsi terapi penyucian jiwa dari hal-hal berbau duniawi. Hal ini bisa bermula dari contoh hidup sederhana yang harus ditunjukan para wakil rakyat, bukan malah bermewah-mewah dengan fasilitas yang diamanahkan. Pemimpin yang tegas dalam keseriusan membentuk jiwa agamis. Dan dengan agenda pengajian rutin agar penyakit hati bisa terus terkontrol dan terkendali. Kemudian, terapkan terapi berikut dalam setiap pertemuan dan aplikasikan dalam keseharian.
1. Memulai kehidupan dengan niat ikhlas
2. Menyikapi kehidupan dunia berdasarkan ajaran illahi
3. Mengendalikan nafsu syahwat terhadap harta
4. Menjaga pikiran yang terlintas dan langkah nyata untuk perbuatan
5. Tawakkal
6. Mensyukuri nikmat hara yang ada padanya
7. Sabar menghadapi kemiskinan dan fitnah (ujian) harta
8. Ridha terhadap qadha (ketentuan) Allah
9. Menumbuhkan rasa takut (khauf) kepada Allah
10. Membentuk sifat jujur dalam diri
11. Membangun sifat malu untuk berbuat maksiat
12. Muhasabah (introspeksi diri)
13. Muraqabatullah
14. Menumbuhkan kecintaan (mahabbah) kepada Allah
15. Bertaubat untuk tidak melakukan praktik korupsi.
Begitu ampuh rasanya bila agama menjadi fondasi yang kuat untuk semakin menyempurnakan segala cara dan strategi pemberantasan korupsi. Bila Ary Ginanjar pun mampu membangun spiritualitas bangsa dengan konsep ESQ nya, maka bukan berarti tidak mungkin pemerintah kita menciptakan sesuatu yang sama dengan konsep berbeda untuk menuju pemerintahan yang bersih dan damai. Bukan hanya berlaku bagi pemerintah pusat, melainkan seluruh lapisan pemerintahan di negeri ini.
Penutup
Akibat tingkah polah segelintir oknum manusia di negeri ini mengakibatkan seluruh rakyat di negeri ini ikut merasakan akibatnya. Korupsi adalah contoh tingkah laku manusia yang bersumber dari kejiwaan manusia yang tidak pernah tersentuh oleh ajaran-ajaran Illahi. Saya kira tidaklah salah jika mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk bersama memberantas penyelewengan-penyelewengan tersebut yang salah satunya dengan menyebarkan konsep terapi penyucian jiwa ini. Kendati demikian, juga perlu adanya usaha-usaha dari pemegang kebijakan di negeri ini untuk dengan tegas memberantas korupsi di negeri ini dengan membina moral dan spiritual para peabatnya. Salah satunya, dengan menyebarkan dan menerapkan konsep terapi penyucian jiwa ini. Karena bagaimanapun, penyebab korupsi adalah dimulai dari individu yang integritas moralnya rusak.
Kendati demikian, memanglah konsep terapi penyucian jiwa bukanlah satu-satunya jurus ampuh dalam memberantas korupsi. Namun konsep ini merupakan upaya dalam rangka mengambil langkah preventif untuk membasmi penyakit hati yang bercokol dalam hati para tikus berdasi umumnya bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Abdur Rafi, Abu Fida’. 2006. Terapi Penyakit Korupsi Dengan tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa). Jakarta. Republika.
Aristiarini, Agnes. 2011. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta. Kompas.
Indrayana, Denny. 2011. Cerita di Balik Berita Jihad Melawan Mafia. Jakarta. BIP.
0 comments:
Posting Komentar