by, Lena Sa'yati
Halte bus mendadak ramai karena
hujan yang deras mengguyur jalanan ibu kota. Kebanyakan memang menunggu bus,
namun ada juga yang hanya sekedar berteduh. Begitu pula seorang wanita yang
hijab pinknya basah kuyup dengan tubuh menggigil kedinginan. Ia yang duduk
meringkuk sesekali menggosok-gosokan telapak tangannya untuk menghangatkan
diri.
Saat bus tiba, sebagian berbondong-bondong menaikinya, hingga hanya
tersisa dirinya seorang. Ia hanya bermaksud mendatangi kantor penerbit novelnya
di seberang jalan, tapi kalau harus menerobos hujan selebat itu, ia pun tak
mau. Sialnya lagi, ia sama sekali tak mempersiapkan payung atau jaket.
Beberapa menit berlalu, nada hujan
masih saja sama, kesendiriannya pun semakin nyata. Namun tidak pada sepersekian
detik kemudian, saat seorang pemuda yang berpayung berlari terseok-seok di
trotoar hendak menuju halte.
“Kau di sini rupanya.” ia menyapa
wanita itu yang kemudian merasa terkejut dengan kedatangannya. Pemuda tampan
dengan tubuh semampai itu pun lekas menutup payungnya dan mencari posisi untuk
duduk disamping si wanita.
“Mau ke kantor penerbit itu?” tanya
si pemuda dengan nada ramah sambil sesekali melepas senyum di bibirnya.
Sebaliknya, wanita itu hanya mengangguk dengan ekspresi datar.
“Ayo, biar kuantar!” pemuda itu
bangkit sambil kembali membuka payungnya. Tapi kemudian wanita itu mendongakan
kepala dan melirik si pemuda dengan tajam. Ia tak suka. Tapi kemudian ia
bangkit juga, lalu berlari ke jalan raya, membuat si pemuda terkejut dan terburu-buru
menyusulnya.
@@@
Semenjak rentetan riwayat chat yang
lumayan panjang di malam itu, sepertinya Aura telah sedikit memberi harapan
untuk membuka hatinya pada Aldo. Tapi nyatanya, apa yang mereka bicarakan
adalah layaknya seorang teman biasa. Namun menjadi berbeda saat Aura bercerita
dengan agak emosional soal kepergian suaminya tercinta. Ia terpuruk dan hanya
Aldo yang mau mendengar kisahnya.
@@@
Suara bising klakson mobil saling
bersahutan saat Aura dengan berani berlari di jalan raya, disusul Aldo yang
masih menenteng payung di belakangnya. Aura hanya fokus ke depan, sedangkan
Aldo harus berkali-kali membungkukan punggungnya, meminta maaf pada para
pengendara yang cukup terganggu.
Sesampainya di trotoar sebrang
halte, Aura masih mempercepat langkahnya, hendak menghindari Aldo. Tapi selalu
begitu sebaliknya, Aldo pun semakin mempercepat langkahnya agar sejajar dengan
Aura.
“Aura tunggu!” Aldo sesekali menyeru
agar Aura mau mensejajarkan langkahnya. Hingga akhirnya tersusul juga.
“Kamu tidak sopan, harusnya panggil
aku kakak!” Aura membuka suara, meski masih agak ketus. Langkah mereka mulai
beriringan. Saat itu pula Aldo mulai membagi payung.
“Tidak lagi.” Aldo menyahut. Membuat
langkah Aura terhenti. Aldo yang selangkah kedepan, kembali mundur dan
membetulkan letak payungnya agar menaungi kepala Aura. Mereka menjadi
berhadapan, persis seperti 9 tahun lalu. Adegan Aldo berbagi payung dengan Aura
memang bukan pertama kalinya.
“Kenapa? Kenapa harus berubah?” Aura
bertanya, meski lebih terkesan mengintrogasi. Aldo tak lantas menjawab, ia
menatap wanita yang lebih tua 5 tahun darinya itu dengan seksama.
“Karena semuanya sudah berbeda.” ucapnya. Aura mengernyitkan dahi,
padahal sebetulnya ia tak begitu terkejut. Laki-laki yang kini tumbuh dewasa di
hadapannya itu dulu hanya bocah ingusan yang selalu berkonsultasi masalah dosen
dan tugas mata kuliah atau hanya sekedar berbagi cerita ringan padanya. Mungkin
karena jurusan mereka sama, sastra.
Tapi semua menjadi ganjil saat Aldo selalu menolak wanita mana pun
yang menyukainya, selalu menguntit setiap kegiatan Aura, dan bahkan sempat
sedikit menjauh saat Aura harus menikah dengan lelaki yang mempersuntingnya.
Tapi apa peduli Aura padanya, baginya Aldo hanya adik dan teman.
“Kalau kamu berpikir karena keadaanku sekarang sudah berubah,
jangan mengira hatiku pun telah berubah.” Aura menyahut. Sesaat, suara titik
hujan di atas payung terdengar jelas memecah keheningan di antara mereka.
“Bukan, bukan keadaanmu yang berubah.” Aldo menyambung, “Aku yang berubah.”
lanjutnya. “Aku tahu kita punya perasaan yang sama, bahkan sejak dulu. Tapi aku
juga tahu, kau hanya menganggapku bocah, dan aku belum mampu menyangkalnya saat
itu. Tapi kini, aku sudah berubah, aku telah berbeda, aku sudah siap.”
Aura kembali gugup, perlahan, pintu hatinya mulai terketuk. 3 bulan
setelah kematian suaminya dalam kecelakaan mobil, baru kali ini hatinya kembali
merona. Ia tak bisa menyangkal, Aldo yang dewasa memang sangat memesona.
“Aldo, dengar.” Aura menundukan wajahnya, tak sanggup menatap mata
Aldo yang sedari tadi memancarkan kesungguhan niatnya. “Ada banyak alasan
kenapa aku tidak memilihmu.”
“Ya, aku tahu itu. Tap..”
“Sebentar,” Aura memotong, “Alasan ini berlaku untuk kita yang dulu
maupun yang sekarang.”
“Aku sudah tahu, aku sudah sangat hafal. Kau hanya akan
menghawatirkan usia kita, cibiran orang untuk kita, kedewasaanku yang mungkin
di bawahmu. Aku sudah hafal itu semua, dan aku sudah mati rasa untuk itu.
Perasaan ini lebih besar dan lebih kuat untuk mengalahkan semua alasanmu.”
“Bagaimana bisa kamu hidup dengan orang lain dengan cinta butamu
itu?” Aura menyahut.
“Kita semua bisa, hanya kau yang masih ragu.” Aldo bertahan.
“Orangtuamu tidak akan menerima janda untuk pendamping putranya.”
“Orangtuaku menerima semua keputusanku.”
“Hidupmu akan penuh cibiran dari teman-temanmu, teman-temanku.”
“Aku menjadikannya bumbu yang memperkaya hubungan kita.”
“Aku akan lebih cepat tua darimu.”
“Kau akan selalu cantik, bagiku.”
“Sikapku akan lebih keibuan dibanding istri yang seumuran.”
“Aku akan senang menerimanya, kau akan mengatur hidupku lebih
tertata.”
Aura menyerah. Setiap alasan, selalu dibalas Aldo dengan
kebalikannya. Menyadari keterpakuan Aura, Aldo menyabet tas gendongnya dan
merogoh sesuatu di saku tas paling depan. Selembar foto. Ia menunjukannya pada
Aura.
“Aku membuat ini untuk kita.” Gambar itu menunjukan sebuah gembok
berwarna biru muda yang tergantung bersama ribuan gembok lain di sebuah pagar.
Di atas gembok biru muda itu tertulis Aldo dan Aura yang ditengahi dengan
lambang love.
“Apa ini?” Aura berpura-pura tak tahu.
“Ini gembok cinta, sedikit tidak rasional memang, orang dewasa
seperti kita masih begini, tapi aku selalu percaya simbol. Dan ini, adalah
simbol perasaan kita.”
“Kita?” Aura mengernyitkan dahi.
“Benar. Mereka bilang, jika kita mengunci gembok itu di sana, cinta
kita akan abadi. Dengan satu syarat, kuncinya harus dibuang ke tempat yang
sudah disediakan.” Aldo menunggu respon dari Aura. Tapi tak ada, lalu ia
melanjutkan. “Apa kau tidak mau bertanya dimana kuncinya?” Aldo memancing. Aura
melihat wajah Aldo yang mulai basah dengan cipratan air hujan. Sebagian besar
payungnya menaungi Aura, hingga membuat sebagian kepala Aldo terciprat hujan.
“Dimana?” Aura akhirnya menyahut.
Aldo merogoh saku celananya.
“Di sini, dan selalu kubawa kemana
pun.” Aldo menunjukan kunci itu pada Aura yang masih bersikap datar.
“Baguslah.” sungguh bukan jawaban
yang Aldo harapkan. Tapi biarlah, nyatanya ia tak lantas menyerah.
“Kau tahu kenapa aku tidak
menaruhnya di tempat kunci itu?” Sambungnya sambil berharap-harap cemas akan
jawaban Aura selanjutnya. Tapi Aura yang masih memandangi wajahnya yang basah
malah membetulkan posisi payung agar menaungi mereka berdua. Hujan masih saja
deras, Air yang memantul dari tanah membuat ujung rok Aura maupun ujung celana
jeans Aldo basah dan kotor.
“Oke, jadi kenapa?” tanya Aura
sambil melipatkan kedua lengannya di dada, menahan dingin. Aldo yang masih
menggenggam erat kuncinya itu segera mempersiapkan jawaban.
“Karena aku ingin kau yang
menaruhnya di sana.” pelan suara Aldo dengan nada memelas membuat kejutan besar
yang mengalahkan gemuruh petir dan hujan yang begitu deras. Membuat hati Aura
basah dengan guyuran sebait kalimat yang pemuda berusia 23 tahun itu lontarkan.
Air hujan yang membentuk garis-garis vertikal itu seakan berhenti
dalam bentuk titik-titik bening ikut menahan perasaan aneh yang semakin
bergumul di dalam hati Aura. Suara bising deru kendaraan pun seakan bisu, kalah
akan riuhnya perasaan yang menyerbu relung hati wanita di bawah payung.
Masih tercekat, Aura hendak mengatakan sesuatu. Tapi berkali-kali untapan
bibirnya berakhir hening, bingung, kata apa yang sepantasnya keluar.
“Dimana, dimana tempat itu?” tanyanya hampir tak terdengar. Aldo yang
juga menahan kegelisahan di hatinya, seketika matanya membulat penuh bahagia.
“Korea.” jawabnya semangat. Dengan sedikit gugup, Aura memberanikan
diri menatap lekat-lekat Aldo yang mulai merona.
“Antar aku ke sana.” Aura mengatakannya. Aldo tak sanggup lagi
menahan kebahagian yang menyelimuti dirinya, wajahnya begitu sumringah dengan
senyum yang lebar. Sebaliknya dengan Aura, ia hanya mampu tersenyum tipis
melihat tingkah lelaki muda yang juga dulu adalah tetangganya.
Aldo meminta Aura untuk memegang gagang payung, lalu ia melepas
jaketnya dan menaruhnya di atas pundak Aura. Ia ambil kembali gagang payung dan
memberi kode untuk lanjut berjalan.
“Ayo, aku akan mengantarmu ke Korea.” ujarnya. Aura tersenyum
lembut.
“Kamu harus mengantarku dulu ke penerbit.” sambil membenarkan
posisi jaket yang dipasang di bahunya, Aura berkata sambil melangkah maju,
diiringi Aldo.
“Tentu, setelah itu, kita akan ke Korea.” sambung Aldo.
“Setelah halal.” Aura menambahkan. “Awas, kuncinya jangan hilang!”
Aldo tertawa lepas. Mereka kembali memutar candaan lama. Saat keduanya
bertetangga, dan menempuh pendidikan di tempat yang sama. Semuanya akan segera
kembali seperti mulanya.[]
*Terinspirasi dari kisah cinta si Boy, hehe.
0 comments:
Posting Komentar