JABATAN atau AMANAT?
Lena Sa’yati,
lenasayati@gmail.com
Ada yang menggelitik pada setiap acara pergantian pengurus Organisasi Santri Pesantren Condong (OSPC). Dulu, kami Seringkali menamai proses pergantian itu dengan nama Serah Terima Jabatan (SERTIJAB). Jika dilihat dari objek yang menjadi pergantiannya memang penyerahan sebuah jabatan, Ketua menyerahkan masa jabatannya sebagai ketua kepada pengurus baru. Divisi pendidikan menyerahkan masa jabatannya sebagai divisi pendidikan kepada pengurus baru, begitupun dengan divisi-divisi lain. Tidak ada yang salah, memang. Dan memang sudah lumrah begitu. Tapi mari kita tengok kembali, ketika Bapak SBY menjabat sebagai presiden, Bapak Dede Yusuf menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Barat, dan Bapak Syarif menjabat sebagai wali kota Tasikmalaya, maka masing-masing jabatan yang ketiganya duduki itu bukan hanya sekedar sebuah amanat dari rakyat untuk bisa mewakili aspirasi dan juga harapan untuk sebaik mungkin memimpin sebuah daerah atau negara. Sebuah Jabatan seringkali dikonotasikan dengan kedudukan seseorang pada sebuah struktur masyarakat yang nantinya harus ada timbal balik berupa materi atau dengan bahasa merakyat kita sering menyebutnya ‘gaji’. Mana ada presiden yang tidak digaji? Atau seorang manager perusahaan yang tidak digaji? Atau bahkan pak RT yang memilki jabatan paling dekat dengan masyarakat sekalipun, pasti memiliki gaji yang tetap atas jabatannya itu. Itulah kesan yang timbul dari ‘jabatan’. Ketika seseorang mendudukinya, timbal balik atas jabatannya itu haruslah ada.
Lantas bagaimana dengan pergantian pengurus OSPC? Bukankah setiap pengurus OSPC menduduki jabatannya didasarkan atas keikhlasan dan pengabdian kepada lembaga tempat mereka menuntut ilmu. Tidak ada gaji perbulan. Tidak ada dana kompensasi. OSPC murni menanamkan sikap ikhlas dan bertanggung jawab atas amanat yang telah diberikan kepada para pengurusnya. Ketua, Sekretaris, Divisi-divisi, pada hakikatnya semua sama. Tak ada yang lebih diatas, atau yang rendah dibawah. Lebel yang menaungi semua kedudukan itu adalah sama, yakni sebuah amanat. Kedudukan itu menjadi sebuah amanat yang tidak boleh disalah gunakan dan harus menjadi pandangan. Seorang Ketua tidak bisa memerintah seenaknya lantaran merasa kedudukannya lebih tinggi dibanding yang lain. Atau senang memerintah sedangkan dirinya sendiri tidak mengerjakan. Disinilah makna sebuah amanat berperan. Amanat yang merupakan sebuah kepercayaan dari seseorang untuk orang lain dan apabila dikhianati maka hukumannya datang langsung dari Allah SWT. Betapa Jika sebuah amanat dikhianati, maka orang itu termasuk orang munafik, sedangkan tempat yang setimpal bagi orang munafik hanyalah dineraka. Na’udzubillah.
Begitulah makna sebuah amanat yang diemban para pengurus OSPC ini. Maka, berkhianat atau tidaknya terhadap amanat yang mereka emban , dapat dilihat dari etos kerja, semangat menggerakan masa kearah yang positif, serta rasa kepekaan dan tanggungjawab yang tertanam dalam diri masing-masing. Tidak sedikit para pengurus yang awalnya semangat, giat menggiring anggotanya kemushala, atau sekolah, menjadi orang yang paling depan pada shaf shalat, serta peka terhadap semua keluhan dari para anggotanya, namun beberapa bulan kemudian berubah 180 derajat. Sikap-sikap istimewa yang mereka tampilkan diawal masa kepengurusan tidak ada sama sekali bekasnya lagi. Sifat ingin memerintah, sedangkan dirinya tak mengerjakan menjadi rutin diperbuat. Allah murka pada orang-orang seperti ini. Keikhlasan mulai luntur seiring perasaan penat yang dirasakan selama mengurusi anggota. Mungkin akan berbeda jika ada ‘iming-iming’ yang akan mereka dapatkan jika berhasil membuat sebuah inovasi, atau sebuah perubahan yang signifikan seperti yang seringkali terjadi pada karyawan perusahaan, lantaran berhasil menarik sekian banyak klien, diapun mendapatkan reward berupa rumah baru misalnya. Tentu akan timbul motivasi besar untuk terus menemukan inovasi-inovasi baru, dan semakin baik dalam bekerja. Disinilah letak keikhlasan mengemban sebuah amanat diuji. Pun perbedaan yang cukup mencolok antara amanat dan jabatan.
Maka, sebenarnya proses peyerahan sebuah amanat ini sangat berperan dalam melatih karakter kepemimpinan dan tanggungjawab para pengurus dimasa yang akan datang. Tidak mustahil diantara mereka, sepuluh tahun kedepan ada yang menjadi walikota, gubernur, mentri, atau bahkan seorang presiden. Penanaman benih keikhlasan yang diterapkan OSPC inipun tentunya akan sangat berefek dikemudian hari. Insyaallah. Jika sekarang mengurus anggota yang imbalannya pahala dari Allah sudah bisa jujur, dan maksimal, maka nanti ketika menjabat sebuah kedudukan yang imbalannya berlipat disamping pahala juga mendapatkan ihsan, maka tentunya etos kerja dan sikap jujur harus lebih maksimal lagi (meski sebenarnya tetap harus didasari keikhlasan, bukan karena pahala dan ihsan).
Nah, setelah menyelami makna sebuah amanat lebih dalam, nama pergantian pengurus sempat berubah menjadi Serah Terima Amanat (SERTIMAN), dan terakhir, pada acara pergantian pengurus yang baru saja dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2011 kemarin, berubah kembali menjadi “Pergantian Pengurus” baru saja. Mungkin sebagian orang ada yang menganggap perubahan nama itu tidak penting, tapi justru dari sebuah nama acaranya saja akan timbul beragam kesan.
Terakhir, saya ingin mengucapkan selamat dan sukses kepada pengurus baru yang siap mengemban amanat baru mengurusi pondok dan anggota-anggotanya. Semoga amanat itu terus terngiang-ngiang di telinga kalian, sehingga bisa menjadi suatu pandangan, dan kalian dapat berhati-hati dalam bertindak nanti. Dan yang terpenting, semoga kalian tidak termasuk orang-orang yang ‘ajug’ (menyuruh, tapi tidak mengerjakan). Amin.